TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Laode Ida mengungkapkan dalam sebulan terakhir pihaknya banyak sekali mendapatkan laporan dari masyarakat soal lonjakan tagihan listrik. Salah satunya adalah soal lonjakan tagihan listrik di rumah kosong atau pertokoan yang tak beroperasi.
"Ternyata, rumah kosong bayarannya naik, toko tempat jualan yang tidak beroperasi secara normal justru tagihan meningkat. Ini kasus yang spesifik dan belum bisa dijelaskan secara baik oleh pihak PLN," kata Laode saat konferensi pers virtual, Kamis 18 Juni 2020.
Laode mengatakan, pihaknya belum mendapatkan penjelasan resmi dari PLN terkait lonjakan tagihan listrik di sejumlah rumah tak berpenghuni. Adapun, sampai saat ini Ombudsman baru mendapatkan penjelasan pada sejumlah kasus kenaikan tagihan listrik seperti yang dialami warga Depok maupun bengkel las di Malang.
Ia lalu menduga salah satu penyebab lonjakan tagihan listrik adalah kWh meter yang sudah kedaluwarsa. Oleh karena itu, Ombudsman mendorong kepada PLN untuk memperbaharui alat tersebut, agar tak terjadi kesalahan penghitungan tagihan.
"Karena alat perhitungan meteran itu yang sudah kedaluwarsa dan harus diganti, sekitar 14 juta pelanggan yang dianggap meterannya sudah kedaluwarsa," kata Laode.
Lebih jauh Laode mengatakan bahwa keakuratan dalam penghitungan alat ukur PLN saat ini dipertanyakan."Ini juga saya kira yang menjadi catatan bagi PLN untuk melakukan perbaikan dengan meteran yang canggih. Sehingga tagihannya bisa lebih tepat," tuturnya.
Meski begitu, Laode juga menyebutkan ada kemungkinan lonjakan tagihan listrik para konsumen PLN dikarenakan meningkatnya aktivitas dilakukan di rumah. Tapi hal ini tak berlaku untuk tagihan listrik rumah tak berpenghuni.
Sebelumnya Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini menyatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan tera ulang meteran pelanggan untuk memastikan keakuratan pencatatan tagihan. Sesuai Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2014, tera ulang dilakukan untuk kWh meter yang berusia diatas 15 tahun.
"Dari data kami menunjukkan per 15 Juni 2020, sebanyak 7,7 juta meter tua telah diganti, sisanya yakni sebanyak 8,3 juta meter tua sedang dalam proses," kata Zulkifli melalui keterangan tertulis, Rabu 17 Juni 2020.
Berdasarkan analisa perseroan, Zulkifli menyebut, penggantian unit berusia di atas 15 tahun lebih efisien dibandingkan dengan tera ulang terhadap kWh meter. Di mana semua meter sebelum dipasang 100 persen peneraan dilakukan oleh badan metrologi dan diberikan segel, kemudian diberikan tes akurasi sebelum serah terima ke unit-unit sesuai SPLN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2018, dalam hal tera ulang terhadap KWh meter, pengujian dapat dilakukan dengan uji sampel guna meningkatkan akurasi pembacaan penggunaan listrik pelanggan. "PLN pun sudah mengikuti peraturan yang berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Permendag tersebut untuk melakukan pembaruan meteran," ucapnya.
Kemudian, kata Zulkifli, perseoan juga terus berkoordinasi dengan Kemendag untuk mempercepat proses tera ulang terhadap meteran yang sudah berumur di atas 15 tahun. Tantangan terbesar dalam melakukan tera ulang adalah soal keterbatasan kapasitas laboratorium tera ulang yang dimiliki oleh Kemendag.
Sementara itu, terkait keluhan sebagian masyarakat mengenai lonjakan tagihan listrik pelanggan selama bulan Mei dan Juni 2020, bos PLN itu memastikan, perseroan menghitung tagihan pemakaian masyarakat dengan harga kwh meter yang berlaku sejak tahun 2017, dengan proses yang transparan dan kehati-hatian. "Lonjakan tersebut terjadi karena pemakaian yang meningkat oleh pelanggan, bukan karena adanya kenaikan tarif atau subsidi silang tarif," ucapnya.