TEMPO.CO, Jakarta - PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. terus melakukan terobosan untuk menggenjot proses restrukturisasi kredit debitur yang terdampak pandemi Covid-19. Bank BUMN ini bahkan telah melakukan penyesuaian level kewenangan dalam pengambilan keputusan restrukturisasi agar proses berjalan lebih cepat.
SVP Corporate Risk Bank Mandiri Danis Subyantoro mengatakan, seiring dengan banyaknya debitur yang mengajukan restrukturisasi, ada satu unit yang tidak dilibatkan oleh perseroan dalam memutuskan restrukturisasi. Ini dilakukan untuk memangkas birokrasi dan waktu pemrosesan.
Selain itu, Bank Mandiri juga melakukan penyesuaian level kewenangan dalam pengambilan keputusan terkait restrukturisasi. Pada kondisi normal, keputusan restrukturisasi kewenangannya berasal dari level atas. Namun, khusus selama pandemi, kewenangan restrukturisasi hanya pada komite kredit biasa.
"Restrukturisasi yang kami lakukan tunduk pada POJK 11 yang menentukan sektor mana saja, langsung maupun tidak langsung. Pengertian tidak langsung kita jaga benar supaya tidak terjadi moral hazard," kata Danis di Jakarta, Kamis 18 Juni 2020.
Sebelumnya, dalam kondisi normal, Bank Mandiri akan melibatkan unit bisnis, risk, dan special asset management dalam memutuskan restrukturisasi. Namun saat ini, unit special asset management tidak dilibatkan karena debitur yang direstrukturisasi berkategori sehat tetapi terdampak pandemi Covid-19.
Selain dengan restrukturisasi, strategi Bank Mandiri untuk tetap bisa tumbuh di tengah kondisi saat ini adalah dengan sangat selektif menyalurkan kredit. Dengan selektif menyalurkan kredit, Bank pelat merah ini berupaya untuk tetap tumbuh secara berkualitas. "Kita benar-benar pilih sektor tidak terdampak atau sedikit terdampak dan debitur kuat untuk bayar tagihan," kata Danis.
Hingga 7 Juni 2020, Bank Mandiri tercatat sudah menyetujui restrukturisasi sebanyak 404.000 debitur dengan baki debet mencapai Rp 99 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 51,6 triliun di antaranya merupakan segmen wholesale banking, korporasi, dan commercial banking. Sisanya, senilai Rp 47,3 triliun berasal dari segmen retail, UMKM, KPR, maupun KSM.
BISNIS