Ia kemudian memaparkan proses kenaikan cukai 23 persen ini. Dalam paparannya, sejumlah pihak diajak berdikusi termasuk asosiasi pengusaha rokok seperti GAPPRI, GAPRINDO, hingga FORMASI. Namun dalam paparannya, tidak tertulis Pemprov Jawa Timur.
Pernyataan Wawan yang menyebutkan kenaikan mempertimbangkan masukan dari semua pihak inilah yang dibantah oleh Sulami. Tidak hanya Jawa Timur saja, kata dia, tapi provinsi penghasil rokok lainnya pun juga tidak pernah diajak bicara. Saat ini, Jawa Timur menjadi salah satu daerah penghasil rokok terbesar di tanah air.
Dengan situasi ini, maka Sulami berharap Kemenkeu bisa mendengarkan suara Jawa Timur ke depannya. "Diajak sih, apa sih masukannya tentang kenaikan tarif cukai, saya harapkan seperti itu," kata dia.
Tempo sempat menanyakan kebijakan kenaikan cukai 23 persen dari Sri Mulyani ini kepada Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak. Tapi saat itu, Emil tidak bersedia menjelaskan secara tegas sikap dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. “Kami menyuarakan concern terkait hard-landing dan soft-landing, itu saja yang bisa saya katakan,” kata Emil saat ditemui di Museum Nasional, Jakarta Pusat, 21 Oktober 2019 silam.
Di satu sisi, Emil menghormati kebijakan pembatasan komoditas tembakau yang telah dijalankan pemerintah bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, Emil menerima keluhan dari pelaku industri rokok di daerahnya bahwa kenaikan cukai yang besar per 1 Januari 2020 ini akan membuat serapan pasar akan sangat terdampak.
FAJAR PEBRIANTO