TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan rasio utang pemerintah akan mengalami kenaikan pada tahun 2021. "Rasio utang akan naik di sekitar 33,8 hingga 35,88 persen terhadap Produk Domestik Bruto," ujar Febrio dalam konferensi video, Rabu, 17 Juni 2020.
Kenaikan rasio utang itu sejalan dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperkirakan masih tinggi pada tahun depan. Menurut dia, anggaran tersebut diperlukan lantaran besarnya keburuhan countercyclical pemulihan ekonomi pada tahun ini dan tahun depan.
"Defisit APBN masih relatif tinggi di tahun 2021 dan akan dikurangi secara bertahap kembali ke disiplin fiskal 3 persen dari PDB," ujar Febrio. Ia mengatakan defisit bisa ditekan di bawah 3 persen PDB paling lambat pada 2023.
Meski demikian, Febrio menjamin pemerintah akan melakukan pembiayaan defisit tersebut secara aman dan hati-hati. Sehingga, rasio utang dapat terjaga dalam batas aman.
Secara umum, Febrio menyampaikan bahwa kebijakan fiskal tahun 2021 dirumuskan agar ekspansif dan konsolidatif dengan defisit diperkirakan berada pada kisaran 3,05 persen hingga 4,01 persen terhadap PDB.
Febrio mengatakan disiplin fiskal sangat diperlukan untuk mencapai pecepatan pemulihan ekonomi nasional. Di samping itu, kredibilitas APBN juga diperlukan untuk mendorong perekonomian nasional kembali normal. Sehingga, diharapkan setelah 2022 defisit anggaran bisa ditekan di bawah 3 persen seperti yang diamanatkan Undang-undang.
Sebelumnya dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kebijakan makro-fiskal tahun 2021 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal konsolidatif.
"Dengan defisit pada pada kisaran 3,21-4,17 persen terhadap PDB serta rasio utang di kisaran 36,67-37,97 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)," ujar dia dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Selasa, 12 Mei 2020.
Pada akhir Maret 2020, posisi utang pemerintah berada di Rp 5.192,56 triliun dengan rasio utang 32,12 persen terhadap PDB. Sri Mulyani mengatakan besaran pembiayaan defisit di atas 3 persen itu mengacu kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020.
Sehingga, proses pemulihan ekonomi pasca masa wabah Virus Corona alias Covid-19 dapat berjalan secara bertahap. "Agar tidak mengalami hard landing yang berpotensi memberikan guncangan bagi perekonomian," tutur Sri Mulyani. Kebijakan fiskal menjadi instrumen yang sangat strategis dan vital dalam proses pemulihan ekonomi.