Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko berujar rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir April lalu sebesar 36,5 persen atau meningkat dari rasio bulan sebelumnya sebesar 34,6 persen. “Meski demikian, struktur ULN kita tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” ujarnya.
Terlebih, struktur ULN didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa sebesar 88,9 persen dari total ULN. “Bank Indonesia dan pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN ke depan,” ucapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan terdapat risiko yang patut diwaspadai pemerintah ketika ingin menarik utang valas di tengah situasi saat ini.
Risiko pertama berkenaan dengan debt to service ratio (DSR) sebagai indikator kemampuan membayar utang yang cenderung memburuk. Pada akhir tahun lalu DSR mencapai 18 persen, kemudian meningkat menjadi 27,6 persen di kuartal 1 2020. “
Kenaikan DSR ini menunjukkan kenaikan utang meskipun rendah tidak diimbangi dengan penerimaan valas, misalnya yang bersumber dari aktivitas ekspor,” kata Bhima. Kinerja ekspor tahun ini memang terpukul oleh wabah yang menghambat suplai dan menurunkan permintaan secara global.
Risiko berikutnya adalah perlambatan ULN swasta yang menjadi sinyal pelemahan sektor riil. ULN swasta pada akhir April tumbuh melambat menjadi 4,2 persen dari bulan sebelumnya 4,7 persen. “Perusahaan swasta sedang menahan ekspansi sehingga mengerem utang.” Fluktuasi nilai tukar rupiah serta arah suku bunga global juga dinilai patut menjadi perhatian pemerintah.
“Selama ini pemerintah sudah cukup gencar tawarkan utang dengan imbal hasil atau yield tinggi, ini mengakibatkan perebutan dana kian ketat dan membuat beban pembayaran bunga swasta lebih mahal.”