TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Amir Uskara meminta pemerintah memberikan perhatian serius pada pertumbuhan utang luar negeri Indonesia. Pasalnya, ia melihat ada anomali, yakni ketika utang swasta secara tahunan tumbuh minus 4,2 persen secara tahunan pada bulan April 2020, utang pemerintah masih tumbuh positif 1,6 persen di periode yang sama.
"Kami melihatnya risiko utang pemerintah juga berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pada saat pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) rupiah kembali mengalami pelemahan dan berakibat pada beban utang yang meningkat," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu dalam keterangan tertulis, Selasa, 16 Juni 2020.
Apalagi, kata Amir, saat ini situasi pandemi di dalam negeri yang belum membaik, dan secara global di Amerika Serikat angka positif Covid-19 telah mencapai 2 juta orang. "Tentu ini akan berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang tidak pendek, butuh waktu yang agak lama."
Ia berpendapat meskipun utang luar negeri dibutuhkan untuk stimulus perekonomian, tapi pemerintah perlu memperhatikan beban pembayaran bunga yang harus di antisipasi. Sebab, bunga utang Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara lain di Asean. Padahal, inflasi di Tanah Air relatif rendah. "Jangan sampai utang lebih menguntungkan kreditur asing. Tercatat imbal hasil utang atau yield tenor 10 tahun mencapai 7,4 persen per 15 juni 2020," tutur Amir.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan pembiayaan ULN dan mencari alternatif pembiayaan yang lebih murah. Sementara itu, utang harus digunakan untuk belanja yang benar-benar produktif dan bisa menggerakkan ekonomi masyarakat di saat pandemi masih berlangsung.
Sebelumnya, Data Bank Indonesia memperlihatkan utang luar negeri Indonesia per April 2020 mencapai US$ 400,2 miliar atau sekitar Rp 5.651,9 triliun (dengan kurs Rp 14.155,72 per dolar AS). Angka ini naik 2,9 persen year on year dipicu oleh peningkatan utang pemerintah.
Utang luar negeri ini terdiri atas utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar US$ 192,4 miliar atau sekitar Rp 2.723,6 triliun dan dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 207,8 miliar atau sekitar Rp 2.944,7 triliun.