TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan akan menghasilkan perbaikan defisit di perusahaan yang dipimpinnya. Akhir tahun, defisit BPJS diperkirakan hanya tersisa Rp 185 miliar.
"Harapannya Januari dapat lebih baik, dalam membayar Rumah Sakit juga agar tidak sampai gagal bayar," kata Fachmi dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi Kesehatan DPR di Jakarta, Kamis, 11 Juni 2020.
Awalnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menaikkan iuran BPJS mulai 1 Januari 2020 lewat Peraturan Presiden 75 Tahun 2019. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Februari 2020, MA mengabulkan gugatan itu dan menyatakan kenaikan iuran BPJS melanggar Undang-Undang (UU).
Tapi dalam rapat ini, Fachmi memberikan penjelasan dampak sebelum dan setelah putusan MA ini. Sebelum Putusan MA atau setelah kenaikan iuran tahap pertama, keuangan BPJS sebenarnya bisa surplus Rp 3,7 triliun.
Tapi dengan adanya putusan MA ini, maka iuran akan kembali ke Perpres 82 Tahun 2018 sebelum adanya kenaikan. Sehingga, defisit BPJS bisa kembali membengkak ke angka Rp 3,9 triliun pada akhir 2020.
Sehingga, awal Mei 2020, Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS untuk kedua kalinya lewat Perpres 64 Tahun 2020. Berbagai kritikan pun berdatangan karena Jokowi dianggap tidak mengindahkan putusan MA. Tapi Fachmi membela Jokowi dan menyebut Perpres 64 Tahun 2020 ini masih sesuai dengan putusan MA.
Kini, Perpres 64 Tahun 2020 yang menaikkan iuran BPJS ini kembali digugat kedua kalinya ke MA oleh KPCDI. "Apa yang kami lakukan ini untuk mengontrol kebijakan menjadi suatu kebutuhan, bukanlah karena suatu pilihan semata,” kata kuasa hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, 20 Mei 2020.