TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Riset CORE Indonesia Piter Abdullah berpendapat, mencetak uang baru di saat kondisi likuiditas Indonesia seret tidak akan menimbulkan masalah hiperinflasi. Sebab, saat ini, jumlah uang yang beredar di dalam negeri sangat kecil ketimbang negara lain.
"Jadi kekhawatiran mencetak uang akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berlebihan itu enggak terlalu tepat argumennya," tutur Piter dalam diskusi online melalui Instagram, Rabu, 10 Juni 2020.
Menurut Piter, jumlah uang beredar baik dalam bentuk kertas maupun koin (M0) per produk domestik bruto (PDB) di Indonesia hanya 6 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 14 persen.
Sedangkan jumlah uang fisik, cek dan deposit, tabungan, deposito berjangka serta dana pasar uang yang dimiliki oleh investor (M2) Indonesia hanya di kisaran 38,8 persen. Padahal, menurut Piter, angka M2 di Malaysia dan Thailand bisa mencapai 125 persen.
Bahkan, kata dia, angka M2 di Cina dan Jepang sudah mencapai 200 persen. Piter menjelaskan, peredaran uang di Indonesia sangat rendah karena faktor pembentuknya, yakni kredit per PDB, juga tergolong sangat kecil. "Kredit per GDP (gross domestic product) kita hanya 40 persen sedangkan Jepang 200 persen," tuturnya. Adapun kredit yang tergolong kecil di dalam negeri itu didorong oleh mekanisme yang sulit dan suku bunga yang masih tinggi.
Di sisi lain, Piter mengatakan mengguyur likuiditas atau cetak uang tidak akan terjadi seandainya dari sisi permintaan terjaga. "Selama demand terjaga, hiperinflasi tidak terjadi," tuturnya. Bahkan, menurut dia, seandainya likuiditas dilonggarkan, potensi inflasi hingga akhir tahun masih akan terjaga di bawah 3 persen.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR MH Said Abdullah merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan pandemi virus Corona. Salah satunya, Bank Indonesia disarankan mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.
Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gita Wirjawan juga menyarankan pemerintah menyiapkan setidaknya Rp 1.600 triliun untuk menangani wabah Virus Corona alias COVID-19 dalam enam bulan ke depan. Untuk memenuhi biaya tersebut, ia mengusulkan Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kuantitatif easing dengan mencetak uang untuk mengguyur masyarakat. "Ujung-ujungnya, ini duitnya dari mana? Mau gak mau harus dicetak, itu solusi dari saya," ujar Gita pada 15 April lalu.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | HENDARTYO HANGGI