TEMPO.CO, Jakarta - Proses perekrutan dan penempatan anak buah kapal (ABK) di kapal asing ditemukan bermasalah. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkapkan sejumlah masalah di lapangan, salah satunya pelanggaran izin penempatan ABK.
"Ada yang hanya menggunakan izin perdagangan dari dinas perdagangan di daerah," kata Plt Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, Aris Wahyudi di Jakarta, Selasa, 9 Juni 2020.
Padahal, penempatan ABK di kapal asing harus memperoleh izin dari Kemenaker berupa Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Alternatifnya, bisa juga lewat izin di Kementerian Perhubungan lewat Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
Permasalahan ini diungkapkan oleh Aris di tengah kasus penyiksaan terhadap dua ABK asal Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di kapal ikan Cina, LU QIAN YUA YU 901. Kedua ABK akhirnya melompat ke laut di Selat Malaka dan diselamatkan oleh nelayan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau.
Kedua ABK direkrut oleh PT Duta Putra Group dan PT Dasa Putra. Aris pun telah mengecek database di Kemenaker. Hasilnya, perusahaan itu tidak masuk dalam daftar P3MI dan tidak pernah diberi izin SIP3MI oleh Kemenaker, menempatkan ABK di kapal asing.
Sementara itu, Kepala Subbagian Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Benny, juga menyebutkan bahwa perusahaan tersebut tidak terdaftar di SIUPPAK Kemenhub. "Sesuai data yang kami publish di dokumenpelaut.dephub.go.id," kata dia.
Lebih lanjut, Aris mengatakan permasalahan tidak hanya pada pelanggaran izin penempatan. Di lapangan, ada juga penempatan ABK lewat orang pribadi maupun secara ilegal. Ari menduga kedua ABK yang mengalami penyiksaan ini justru direkrut oleh agen orang pribadi.
Terakhir, masalah muncul karena perizinan yang tidak satu pintu seperti saat ini. Sehingga, kerap terjadi tumpang tindih pengawasan di lapangan ketika kasus seperti ini terjadi.
Koordinator Fisher Center Bitung, Diani, juga menyampaikan masalah bertahun di dunia pelayaran ini. Fisher Center adalah organisasi yang pertama kali melaporkan kasus penyiksaan terhadap dua ABK di kapal ikan Cina.
Menurut dia, pengawasan terhadap ABK tumpah tindih, antara Kemenhub, Kemenaker, Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga Badan Perlidungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Tak hanya pengawasan, aturan hukum pun tumpang tindih.
Situasi ini, kata Diani, pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi para korban. "Ketidakpastian hukum tersebut bisa dipakai menjadi dalih oleh penegak hukum untuk menolak melanjutkan penyelidikan atas pelanggaran hukum yang sudah dilaporkan," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO