TEMPO.CO, Jakarta - Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat dugaan penyiksaan warga Indonesia yang menjadi anak buah kapal (ABK) ikan Cina LU QIAN YUA YU 901 menjadi satu dari ratusan kasus ABK WNI di kapal asing. BP2MI mencatat 415 kasus ABK Indonesia di kapal asing dari 2018 hingga Mei 2020.
Namun, tidak semuanya ditindaklanjuti dan berakhir di pengadilan. "Itu baru dua tahun, bayangkan kalau datanya 5 sampai 10 tahun, bisa ada ribuan kasus," kata Kepala BP2MI Benny Rhamdani kepada Tempo di Jakarta, Senin, 8 Juni 2020.
Adapun kasus terakhir dialami dua ABK bernama Reynalfi asal Pematang Siantar, Sumatera Utara; dan Andri Juniansyah asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Keduanya diduga disiksa di Kapal Ikan Cina hingga akhirnya melompat ke laut di Selat Malaka pada Jumat, 5 Juni 2020.
Sebelum kasus penyiksaan kedua ABK kapal LU QIAN YAN YU 901 muncul, BP2MI menyerahkan 415 kasus ABK ke Bareskrim pada Kamis, 2 Juni 2020.
Kasus yang dilaporkan beragam. Mulai dari gaji yang tidak dibayar, kecelakaan kerja, meninggal dunia di negara tujuan, ABK yang ingin dipulangkan, penahanan paspor atau dokumen oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Ada juga ABK yang gagal beragkat, pemutusan hubungan kerja sebelum kontrak berakhir, pekerjaan tidak sesuai kontrak kerja, hingga penipuan. "Ini sering dialami ABK, sudah terjadi lama dan berulang," kata dia.
Untuk itu, Benny berkomitmen untuk menyelesaikan ratusan kasus ABK ini. Kasus terbaru yang dialami Andri dan Reynalfi akan dilaporkan segera ke Bareskrim Polri. "Kami punya Satgas ABK, nanti akan menyampaikan laporan resmi," kata dia.
Tak hanya BP2MI, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat sudah 31 ABK yang menjadi korban kekerasan di Kapal Ikan Cina dalam delapan bulan terakhir, November 2019 sampai Juni 2020.
Sekitar 21 di antara mereka selamat, 7 meninggal, dan 3 hilang. "Atas banyaknya kejadian ini, DFW Indonesia meminta pemerintah secepatnya melakukan moratorium pengiriman ABK ke luar negeri, terutama yang bekerja di kapal ikan Cina," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhudan di hari yang sama.
Koordinator Fisher Center Bitung, Diani, pun mengatakan kasus kekerasan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Hanya saja, kata dia, kasus kekerasan terungkap, setelah kasus pelarungan dua ABK ke laut beberapa waktu lalu.
"Persoalannya di awak kapal, tidak semua sempat terekspos," kata dia kepada Tempo pada Senin, 8 Juni 2020. Fisher Center Bitung adalah pihak yang pertama kali melaporkan dugaan penyiksaan yang dialami oleh Reynalfi dan Andri.
FAJAR PEBRIANTO