TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. telah mengusulkan kenaikan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) angkutan niaga berjadwal kepada Kementerian Perhubungan.
Usul tersebut merupakan respons dari adanya aturan pembatasan kapasitas penumpang di dalam pesawat selama pandemi virus corona.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memastikan kenaikan tarif tersebut bukan untuk mencari untung. "Kami tidak mau menggunakan momentum ini untuk cari untung. Harga dinaikkan untuk menutupi kursi yang bolong-bolong," tutur Irfan dalam Live Instagram bersama Tempo pada Senin petang, 8 Juni 2020.
Menjelang masa normal baru atau new normal, kapasitas penumpang angkutan pesawat akan dibatasi maksimal 70 persen dari total kursi yang tersedia. Musababnya, kursi di bagian tengah yang jumlahnya 30 persen dari total kapasitas pesawat akan dikosongkan untuk memberi jarak antar-penumpang.
Irfan mengatakan aturan ini akan berdampak terhadap beban operasional maskapai. Maka, mesti ada penghitungan ulang untuk penetapaan harga pokok produksi (HPP) yang akan berdampak terhadap biaya tiket.
Meski begitu, Irfan memastikan kenaikan harga yang diusulkan maskapai perseroan pelat merah ini masih akan terjangkau oleh masyarakat. "Kami tidak mau nekat gila-gilaan menetapkan harga," tuturnya.
Apalagi, menurut Irfan, saat ini penumpang pesawat memiliki kewajibanmengeluarkan ongkos lebih untuk melengkapi persyaratan terbang. Di antaranya rapid test atau polymerase chain reaction (PCR).
Kementerian Perhubungan pernah berencana merevisi aturan terkait TBA dan TBB tiket pesawat, yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019, di tengah pandemi corona. Pada April lalu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan sedang mengkaji kenaikan tarif untuk angkutan penumpang niaga berjadwal.
"Kami menghitung seolah-olah satu penumpang menjadi (membayar) dua (tiket). Jadi (kenaikan tarif) hampir dua kali lipat," ujar Novie di Jakarta, Ahad, 12 April 2020.