TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta managemen PT PLN membuka seluas-luasnya keragaman dan kanal pengaduan konsumen yang mengalami billing shock tersebut. Pasalnya YLKI banyak menerima keluhan dari konsumen yang mengalami kesulitan saat ingin melaporkan kasusnya via call center 123, atau akses lainnya.
"Ini menunjukkan kanal pengaduan yang ada belum optimal mewadahi keluhan/pengaduan konsumen," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Ahad, 7 Juni 2020.
Dia mengatakan konsumen listrik kembali dikejutkan oleh melonjaknya tagihan listriknya edisi Juni, bahkan lebih dari 200 persen. Hal itu, kata dia, sebenarnya sudah diprediksi oleh managemen PT PLN, bahwa akan ada sekitar 1,9 juta pelanggannya yang akan mengalami tagihan melonjak (billing shock), dari mulai 50-200 persen, bahkan lebih.
PT PLN mengklaim terjadinya billing shock ini karena dampak wabah Covid-19, sehingga petugas PLN tidak secara penuh bisa mendatangi rumah konsumen karena PSBB, dan atau rumah konsumen yang "dilockdown", untuk melakukan input data pemakaian konsumen. "Selain itu ndilalah konsumen juga tidak mengirimkan photo posisi akhir stand kWh meternya (via whatsapp)," ujarnya.
Hal ini, kata dia, yang kemudian managemen PT PLN menggunakan jurus pamungkasnya yakni menggunakan pemakaian rata-rata tiga bulan terakhir, sehingga ada istilah kWh tertagih.
Karena itu, YLKI juga meminta managemen PT PLN untuk melakukan sosialisasi seluas-luasnya kepada konsumen/pelanggannya, terutama di area yang banyak mengalami masalah serupa, sebagaimana terjadi pada edisi April-Mei, sehingga masyarakat mengerti duduk persoalan dan musabab yang terjadi, plus mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Tulus meminta konsumen yang mengalami billing shock untuk segera melaporkan ke call center PT PLN; baik via 123, atau kanal medsos yang dimiliki PT PLN. Sebelum melaporkan, sebaiknya konsumen melakukan recheck terlebih dahulu terhadap kewajaran pemakaiannya, dengan melihat pemakaian jumlah kWh terakhir dengan jumlah kWh bulan sebelumnya.
"Sebab selama WfH dan LfH (learning from home), umumnya pemakaian energi listrik konsumen mengalami kenaikan," ujar Tulus.
HENDARTYO HANGGI