TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada Jumat siang ini, 5 Juni 2020, menguat di bawah Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Dengan posisi ini, maka rupiah kembali ke level awal sekitar Februari 2020, sebelum Covid-19.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kurs rupiah berada di posisi Rp 13.855 hingga Rp 13.960 per dolar AS. "Ini rahmat Allah SWT," kata Perry dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 5 Juni 2020.
Dengan adanya penguatan ini, kata Perry, maka BI menilai rupiah masih undervalue dan masih berpotensi menguat. Perry menyebut kondisi ini pun terjadi karena sejumlah faktor.
Di antaranya yaitu inflasi yang rendah, defisi transaksi berjalan yang rendah. Lalu, perbedaan suku bunga luar dan dalam negeri yang tinggi, hingga premi resiko yang menurun.
Untuk perbedan suku bunga atau interet rate differential misalnya, perbedaan masih cukup tinggi. Suku bunga SBN 10 tahun yaitu 7,06. Sementara U.S. Treasury 10 tahun berada di angka 0,8 persen. "Berarti beda 6,2 persen lebih, itu perbedannya tinggi," kata dia.
Lalu premi resiko atau Credit Default Swap (CDS) sudah mulai menurun. Sebelumnya, premi resiko sempat mencapai posisi tertinggi yaitu 245. Tapi kini, posisinya sudah mencapai 126. Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dari premi resiko sebelum Covid-19 yang berada di angka 66 sampai 68.
Terakhir yaitu inflasi yang masih rendah. Sepanjang Mei 2020, BPS mencatat inflasi sebesar 2,19 persen yoy. Sementara dari survei pemantauan harga BI pada minggu pertama Juni 2020, inflasi berada di posisi 0,4 persen mtm dan 1,81 yoy. "Artinya itu juga lebih rendah dari bulan lalu," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO