Garuda, misalnya, diberikan dana talangan paling banyak, yakni mencapai Rp 8,5 triliun. Kamrussamad khawatir dana ini hanya akan digunakan untuk membayar utang sebesar US$ 500 juta yang jatuh tempo pada Juni ini. "Kalau benar, ini sangat ironis. Semestinya utang jatuh tempo solusinya adalah renegosiasi," Kamrussamad.
Lebih lanjut, dia menyebut pemberian stimulus kepada BUMN tidak akan terlalu membawa dampak terhadap pemulihan ekonomi. Musababnya, sebelum pandemi pun, perusahaan-perusahaan pelat merah ini tercatat memiliki kondisi likuiditas keuangan yang kurang sehat.
Bahkan, Kamrussamad merinci terdapat sepuluh BUMN yang memiliki utang terbesar berdasarkan data 2018. Di antaranya BRI Rp 1.008 triliun; Bank Mandiri Rp 997 triliun; BNI Rp 660 triliun; PLN Rp 543 triliun; Pertamina Rp 522 triliun; BTN Rp 249 triliun; Taspen Rp 222 triliun; Waskita Rp 102 trilun; Telkom Indonesia Rp 99 triliun; dan Pupuk Indonesia Rp 76 triliun.
Ia juga mencatat ada beberapa BUMN yang berada dalam kondisi sekarat menurut data 2019. Di antaranya BTN dengan utang Rp 249 triliun; Taspen dengan utang Rp 222 triliun; Waskita Karya dengan utang Rp 102 triliun; Pupuk Indonesia dengan utang Rp 76 triliun; PGN dengan utang Rp 59,6 triliun. Lalu, Krakatau Steel dengan utang Rp 35 triliun; Adhi Karya dengan utang 25,01 triliun; dan Kimia Farma dengan utang Rp 830,5 miliar.
Ketimbang digelontorkan untuk BUMN, Kamrussamad meminta dana PEN dialokasikan untuk sektor riil dan keuangan sesuai dengan isi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Sektor yang dimaksud meliputi pangan, UMKM, industri padat karya, pariwisata, perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi, dan Lembaga Keuangan Mikro.