Kriteria yang dimaksud, ujar Siti, antara lain memiliki kerja sama dengan platform digital hingga memiliki perizinan berusaha atau nomor induk berusaha yang diterbitkan oleh sistem Online Single Submission. "Kriteria tersebut tentu akan sulit dipenuhi jika lembaga pelatihan yang menyelenggarakan pelatihan adalah individu," ujar dia.
Di samping itu, penelitian ICW juga menunjukkan adanya peran ganda yang dilakukan sejumlah platform digital yang juga merangkap sebagai lembaga pelatihan dalam waktu bersamaan. Kondisi tersebut terjadi misalnya di Skill Academy, Sekolah.mu, Pijar Mahir, dan Pintaria. Padahal, platform digital sejatinya memiliki tugas kurasi dan pengawasan terhadap lembaga pelatihan. "Bagaimana mungkin sebuah lembaga melakukan kurasi dan pengawasan terhadap dirinya sendiri dalam waktu bersamaan?" ujar Siti.
Kondisi itu juga dinilai diperparah dengan tidak ada aturan jelas soal pemisahan peran antara platform digital dan lembaga pelatihan. Sehingga, kemungkinan satu lembaga mengambil dua peran sangat mungkin terjadi di masa mendatang.
Tempo telah berupaya mengonfirmasi Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, Panji Winanteya Ruky, mengenai sorotan ICW tersebut. Namun, pesan Tempo hingga kini belum berbalas.