TEMPO.CO, Jakarta - Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI sampai saat ini belum menjalankan rekomendasi yang telah disampaikan lembaganya seperti tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada Februari 2020 lalu. Dalam laporan itu, BPK menemukan sejumlah masalah dan menyarankan sejumlah perbaikan di tubuh TVRI.
"Mereka tidak menjalankannya dan ini akan menjadi masalah di tahun depan," kata Achsanul kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 28 Mei 2020.
Sejak tiga bulan lalu, BPK sudah mengirimkan hasil audit kinerja TVRI kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari hasil pemeriksaan ini, BPK menemukan sejumlah masalah menonjol, utamanya yang melibatkan Dewan Pengawas TVRI.
"Temuan pertama adalah ketidakharmonisan di dalam peraturan undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada. Dewan Pengawas membuat aturan yang tidak sesuai dengan undang-undang," ujar Achsanul di kompleks DPR Senayan, Jakarta Pusat.
Peraturan yang dimaksud adalah beleid Keputusan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2018. Menurut Achsanul, BPK memandang isi aturan itu tidak sesuai dengan hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI. Sebab, Dewas memasukkan aturan tambahan seperti mengangkat tenaga ahli dan membentuk komite untuk melaksanakan tugas dan fungsi.
Hal yang tidak selaras lainnya adalah wewenang Dewan Pengawas untuk mengajukan pertanyaan, mengakses informasi dan data, memantau tempat kerja, dan sarana-prasarana. BPK menilai poin ini akan menimbulkan tumpang-tindih dengan tugas Satuan Pengawasan Intern.
Berikutnya, BPK juga menyoroti wewenang Dewan Pengawas dalam pembentukan Pasal 46 LPP TVRI Nomor 2 Tahun 2018. Pasal itu mengatur anggota dewan direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak memenuhi kontrak manajemen.
Padahal, menurut BPK, dalam PP Nomor 13 Tahun 2005 disebutkan bahwa pemberhentian dilakukan seumpama direksi tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, merugikan lembaga, dipidana dengan keputusan hukum tetap, dan tidak memenuhi syarat sebagai dewan direksi.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya peraturan dalam LPP TVRI yang tidak memadai dan tidak selaras dengan PP 13 Tahun 2005. Misalnya terkait wewenang pengangkatan dan pemberhentian direksi. Berdasarkan pemeriksaan, penilaian kinerja kepada direksi cenderung subjektif.
"Atas indikator pencapaian kinerjanya yang 100 persen, Dewas menilai bervariasi tanpa rumusan yang jelas," katanya. Dewan Pengawas pun disebut menambahkan indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.
BPK selanjutnya menyoroti tafsir Dewan Pengawas soal status jabatan non-eselon yang setara menteri, DPR, ketua KPK, dan Ketua BPK. Achsanul mengatakan, hal itu tidak sesuai dengan Pasal 18 PP Nomor 13 Tahun 2015. Meski dalam praktiknya, Dewan Pengawas TVRI tetap memperoleh kendaraan dinas setara dengan eselon I dan menikmati fasilitas tiket penerbangan kelas bisnis.
Achsanul mengatakan ketidakselarasan ini menimbulkan konflik antara Direksi dan Dewan Pengawas TVRI. Karena itu, berdasarkan masalah-masalah yang ditemukan, BPK merekomendasikan lima hal. Pertama, Dewan Direksi dan Dewan Pengawas TVRI mesti melakukan koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan untuk merevisi PP Nomor 13 Tahun 2005.
Kedua, Dewan Pengawas TVRI harus melakukan penilaian kinerja Dewan Direksi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, Dewan Pengawas TVRI tidak diperkenankan menafsirkan jabatannya sendiri yang tidak diatur dalam undang-undang.
Keempat, Ketua Dewan Pengawas TVRI mesti mencabut Keputusan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Kerja Hubungan Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Kelima, Dewan Direksi dan Dewan Pengawas TVRI mesti menyusun dan menetapkan tata hubungan kerja antar-keduanya yang disepakati sesuai tugas, fungsi, dan wewenang seperti dalam beleid yang berlaku.
Kini di tengah masalah ini, muncul lagi konflik internal antara Dewan Pengawas dan Komite Penyelamat TVRI. Masalahnya yaitu pada proses pemilihan Direktur Utama Pengganti Antarwaktu (PAW), yang kini menghasilkan Iman Brotoseno sebagai calon terpilih.Achsanul mengatakan konflik internal semacam ini juga sudah disampaikan BPK kepada pemerintah untuk segera dibereskan. "Karena itu urusan eksekutif," kata dia.
Tempo mencoba mengkonfirmasi masalah ini kepada juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu. Kominfo adalah kementerian yang memiliki tugas langsung dalam hal ini. Desember 2019, mereka juga sudah terlibat melakukan mediasi antara Dewan Pengawas dan eks Dirut yang dipecat, Helmy Yahya. Namun hingga berita ini ditulis, Ferdinandus belum memberikan respon atas pertanyaan yang diajukan.