TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia meyakini nilai tukar rupiah akan terus menguat, bahkan mencapai di bawah Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat. Sebab, saat ini bank sentral menilai kurs rupiah masih undervalue dan terus menguat ke arah fundamentalnya.
"Ingat sebelum Covid-19 nilai tukar rupiah pernah di bawah Rp 14.000, yaitu di Rp 13.800, pernah juga Rp 13.600, itu akan mengarah ke sana," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi video, Kamis, 28 Mei 2020.
Perry mengatakan salah satu faktor yang akan menguatkan nilai tukar rupiah adalah premi risiko yang akan terus menurun. Saat ini angka tersebut masih cukup tinggi ketimbang sebelum masa wabah lantaran masih ada ketidakpastian dan persepsi risiko di pasar keuangan global.
Premi risiko, kata Perry, antara lain melalui credit default swap alias CDS. Sebelum masa Covid-19, angka CDS berada cukup rendah di level 66. Ketika kepanikan global berada di tingkat tertinggi pada pekan kedua dan ketiga Maret, angka tersebut sempat melambung hingga ke 245.
Sekarang dengan meredanya kepanikan global dan adanya upaya penanganan Covid-19 di Indonesia, angka tersebut kembali turun ke angka 160. Dengan demikian, Perry meyakini rupiah akan bergerak ke arah fundamentalnya.
Adapun pergerakan ke tingkat fundamental nilai tukar rupiah juga diindikasikan dengan inflasi yang rendah, defisit neraca transaksi berjalan yang rendah, kebutuhan devisa berkurang, serta masuknya kembali aliran modal asing ke Tanah Air. Berbagai faktor itu dipercaya akan menyokong stabilitas nilai tukar ke arah fundamental.
Kemarin, BI mencatat nilai tukar ditutup menguat pada angka Rp 14.670 per dolar AS, atau menguat Rp 60 ketimbang sebelumnya. Sementara itu, sepanjang hari ini, rupiah diperdagangkan stabil di angka 14.700 per dolar AS. "Itu yang meyakinkan kami bahwa nilai tukar rupiah ke depan akan terus menguat," kata Perry.