TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI bakal menambah utang ke perbankan untuk kebutuhan modal kerja di masa Covid-19. Sebab saat ini, KAI mengalami defisit arus kas operasional akibat anjloknya jumlah penumpang kereta.
“Defisit sudah terjadi sejak Maret,” kata Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 22 Mei 2020.
Saat ini, KAI mencatat penurunan jumlah penumpang akibat adanya larangan mudik dari Kementerian Perhubungan. Jika biasanya setiap hari pendapatan dari penumpang mencapai Rp 25 miliar per hari, maka kini hanya tersisa Rp 400 juta saja.
Utang yang akan diajukan masih sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati KAI dan sindikasi perbankan. Kedua pihak menyepakati pinjaman modal kerja sebesar Rp 8 triliun.
Sementara kredit yang baru digunakan KAI baru sebesar Rp 1,5 triliun saja. “Sehingga masih ada Rp 6,5 triliun, setiap saat dibutuhkan bisa digunakan,” kata Didiek.
Baca Juga:
Selain menambah utang, KAI akan mengajukan restrukturisasi atas utang lama mereka ke perbankan. Saat ini, KAI memiliki utang sebesar Rp 15,5 triliun. Utang ini beragam, mulai dari Rp 1,5 triliun modal kerja, Rp 4 triliun obligasi, dan Rp 10 triliun utang jangka panjang.
Dari Rp 10 triliun tersebut, utang jangka panjang yang akan diajukan restrukturisasi sebesar Rp 8,5 triliun. Dari jumlah itu, KAI membayar angsuran pokok utang sebesar Rp 1,1 triliun.
Hingga Maret 2020, mereka sudah melunasi Rp 250 miliar. Sehingga, Rp 750 miliar akan diajukan relaksasi pembayaran ke sindikasi perbankan. “Selama satu tahun,” kata Didiek.
FAJAR PEBRIANTO