Rizki menambahkan, dari sisi lapangan usaha, melambatnya pertumbuhan ekonomi Bali bersumber dari terkontraksinya sektor-sektor pariwisata seperti akomodasi dan makan minum, transportasi, industri dan perdagangan. Berdasarkan hasil survei bisnis dan tenaga kerja, lanjut dia, penyebaran COVID-19 telah berdampak terhadap 94 persen responden usaha. Kondisi ini menyebabkan terdapat 28 persen responden yang menghentikan usaha sementara terutama di bidang transportasi, akomodasi dan restoran, perdagangan serta jasa lainnya. "Usaha yang masih mampu berjalan normal bergerak di sektor industri pengolahan dan pertanian," ujarnya.
Mengenai status perusahaan saat ini, 66 persen mengalami penurunan omzet, 28 persen usaha tutup sementara dan hanya 6 persen yang berjalan normal. Adanya COVID-19 dipersepsikan akan berdampak terhadap usaha dalam waktu 6-9 bulan (akhir tahun 2020).
Director Consumer Panel Service Nielsen Indonesia, Mia Triscahyani, menyebut ada perubahan perilaku konsumen dalam masa pandemi COVID-19. Perubahan pola belanja rumah tangga, yakni pada periode Februari-Maret, belanja yang pertumbuhannya tinggi didominasi pembelian sabun cuci tangan, tisu basah, vitamin, produk makanan jadi (kaleng, mie instan dan makanan beku).
Demikian juga peningkatan untuk pembelian produk makanan segar dan sarana telekomunikasi karena orang tua bekerja di rumah dan anak-anak juga belajar dari rumah. "Yang menurun itu adalah biaya pembelian bensin, angkutan transportasi, biaya perlengkapan sekolah, ekstrakurikuler, makan di luar rumah, rekreasi dan belanja fashion," ucap Mia.
Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana,
Agoes Ganesha Rahyuda, mengatakan COVID-19 telah menyebabkan sisi permintaan mengalami penurunan, permintaan inelastis terhadap sektor akomodasi dan konsumsi. "Untuk triwulan II harus lebih berhati-hati sebagai dampak adanya sejumlah pembatasan-pembatasan," ucapnya.
ANTARA