"Penyumbang terbesar defisit jelas peserta PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang, dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta. Total iuran mereka Rp 12,4 triliun, klaim Rp 39,8 triliun! Alias defisit Rp 27,4 triliun," kata dia.
Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp 15,6 triliun. Dengan begitu, kata dia, BPJS Kesehatan musti efisien, manajemen diperbaiki, mafia obat diberantas, pelayanan ditingkatkan, baru naik!.
Perbaikan manajemen dan sistem satu hal, nafas buatan biar tetap hidup hal lain. Keduanya musti dikerjakan barengan. "Dan ini konteks yang perlu kita pahami. Itu jg menjadi alasan rasional kenapa Perpres 75/2019 terbit," ujarnya.
Yustinus sendiri menilai putusan MA sangat bijak. Dalam pertimbangannya, Majelis memberi pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Intinya perlu perbaikan holistik, hulu ke hilir, mencakup sistem, manajemen, pelayanan.
Itulah alasan pemerintah tak buru-buru merevisi Perpres 82 tahun 2018, tapi memilih lakukan perbaikan dulu, seperti segmentasi peserta, penyesuaian besaran iuran BPJS Kesehatan, integrasikan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, pengaktifan peserta menunggak, perbaikan tata kelola sistem layanan JKN. "Nah, Perpres 64/2020 terbit dengan pertimbangan matang. Disusun cukup lama. Kok enggak nunggu pandemi berakhir? Lha justru ini ingin memperbaiki ekosistem agar pelayanan selama pandemi pun lebih baik," ujar Yustinus.
Menurutnya, skema iuran BPJS menurut Perpres 64/2020 ada pengelompokan yang lebih baik, skema iuran yang lebih baik, dan yang jelas perbaikan kepesertaan dan watak gotong royong agar lebih adil.