TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris, mengakui subsidi iuran yang diberikan pemerintah untuk peserta Kelas III BPJS Kesehatan memiliki potensi tidak tepat sasaran. Sebab, tidak semua peserta kelas III merupakan masyarakat yang layak dibantu.
“Exclusion error, memang tidak mungkin 0 persen error,” kata Fachmi dalam diskusi bersama media di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020.
Exclusion error adalah orang yang berhak menerima manfaat, tapi tidak masuk database sebagai penerima manfaat. Fachmi mengatakan ada masyarakat tidak mampu, tapi tidak masuk ke kelas III. Sedangkan ada masyarakat mampu, justru masuk kelas III.
Pernyataan ini disampaikan Fachmi merespons kenaikan iuran yang baru saja diputuskan pemerintah lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi ini kini menuai polemik, karena terbit setelah Mahkamah Agung (MA) menganulir kenaikan iuran dalam aturan lama, Perpres 75 Tahun 2019.
Fachmi menyebut Perpres Nomor 64 Tahun 2020 hadir sebagai bentuk kehadiran negara. Per 30 April 2020, Fachmi menyebut pemerintah sudah menanggung iuran untuk Rp 132 juta peserta BPJS.
Mereka adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) miskin tidak mampu dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah. Kemudian, pemerintah juga memutuskan untuk mensubsidi iuran semua peserta kelas III.
Subsidi yang diberikan sebesar Rp 16.500 pada tahun ini dan Rp 7.000 pada 2021. Sehingga, peserta kelas III cukup membayar iuran sebesar Rp 25.500 pada 2020 dan Rp 35 ribu pada 2021.
Hingga 30 April 2020, jumlah peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) mencapai 35,3 juta peserta. Mayoritas atau 21,8 juta adalah peserta Kelas III yang disubsidi negara.
Namun dari jumlah itu, tidak semua peserta aktif. Dari catat BPJS, 11 juta merupakan peserta aktif dan 10,8 juta peserta nonaktif.
Meski demikian, kata Fachmi, persoalan data ini, terus diselesaikan dengan Kementerian Sosial. Kehadiran Perpres 64 Tahun 2020 inipun, kata dia, membantu perbaikan data tersebut.
Tak hanya perbaikan data, masalah defisit menahun di BPJS juga bakal diselesaikan lewat Perpres 64 Tahun 2020 ini. Hingga tahun lalu saja, BPJS Kesehatan masih menderita defisit Rp 15,5 triliun. Sebab, kata dia, Perpres ini kemudian mengurai masalah dengan adanya perubahan struktur iuran peserta.
FAJAR PEBRIANTO