TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mempersilakan jika ada kelompok masyarakat yang kembali menggugat kebijakan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan. Pemerintah akan mengikuti proses yang ada sesuai ketentuan hukum.
“Kalau ada judicial review (JR), kami akan ikuti,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, dalam diskusi virtual bersama media di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020.
Namun untuk saat ini, kata Askolani, pemerintah tentu akan menjalankan besaran iuran baru tersebut, Ketentuan rinci diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 5 Mei 2020 dan mulai berlaku Juli 2020.
Dengan aturan terbaru itu, ditetapkan besaran iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Sementara untuk April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres No.82 Tahun 2018, yaitu Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III. Adapun per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Khusus peserta PBPU dan BP kelas III, iuran peserta pada tahun ini tetap dibayarkan sejumlah Rp 25.500, sisanya sebesar Rp 6.500 diberikan bantuan iuran oleh pemerintah. Kemudian, pada 2021 dan tahun berikutnya, peserta kelas III membayar iuran Rp 35.000, dan pemerintah membayar bantuan iuran Rp 7.000.
Keputusan ini menuai gelombang penolakan. Sebab, Mahkamah Agung (MA) baru saja membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan Jokowi lewat Perpres 75 Tahun 2019. MA menyatakan kenaikan iuran ini bertentangan dengan UU UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS.
Salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mereka menolak keras kenaikan ala Jokowi ini. “Seharusnya sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan. Tidak boleh diakal-akali untuk memaksakan kehendak,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Adapun Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyatakan sudah bersiap mengajukan judicial review kembali ke MA. Komunitas inilah yang dulu menggugat Perpres 75 Tahun 2019 dan dimenangkan MA. “Secepatnya lah,” kata kuasa hukum KPCDI, Rusdianto.