TEMPO.CO, Jakarta - Bank pelat merah bersiap mengemban peran baru sebagai bank jangkar alias bank penyalur dana penyangga likuiditas bagi bank lain yang mengalami kesulitan likuiditas di tengah upaya penanggulangan dampak wabah Covid-19. Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Royke Tumilaar mengatakan diperlukan kesiapan manajemen risiko agar penugasan itu tak menimbulkan persoalan bagi perseroan di kemudian hari.
“Agar likuiditas bank penyangga tak terganggu sebaiknya sumber dana semuanya dari pemerintah,” ujarnya kepada Tempo, Rabu 13 Mei 2020.
Kekhawatiran itu beralasan mengingat industri perbankan nasional tengah mengalami gangguan arus kas (cashflow), pasca maraknya permintaan restrukturisasi kredit nasabah terdampak Covid-19. “Kami harus menerapkan sejumlah strategi untuk menangkal dampak tersebut supaya likuiditas tetap aman,” kata Royke.
Bank Mandiri bersama tiga bank BUMN lain yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk masuk ke dalam daftar 15 bank yang memenuhi kriteria sebagai bank jangkar.
Hal itu merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2020 tentang Pelaksanan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dimana syarat bank jangkar atau yang di dalam beleid itu disebut sebagai bank peserta adalah 15 bank umum dengan aset terbesar dan dalam kategori sehat.
Sebagai bank peserta, Bank Mandiri nantinya akan menerima penempatan dana dari pemerintah untuk kemudian meneruskannya kepada bank pelaksana yang berhak mendapatkan bantuan likuiditas. “Untuk penilaian kelayakan siapa-siapa saja bank berhak mendapatkan bantuan, akan dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujar Royke. Ihwal detil mekanisme pelaksaannya, Bank Mandiri masih menunggu arahan resmi dari regulator.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu berujar dana yang disiapkan pemerintah untuk skema penempatan likuiditas tambahan itu dialokasikan sebesar Rp 35 triliun.
“Penempatan dana pemerintah itu bisa berbentuk seperti deposito,” katanya. Menurut Febrio, skema itu lebih ditujukan sebagai langkah antisipasi jika ada perbankan yang mengalami persoalan likuiditas selama menjalankan restrukturisasi kredit maupun pembiayaan akibat wabah Covid-19."
Sementara itu, skema bank jangkar ini bukan tanpa risiko. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani menuturkan pelaksanaan skema tersebut berpotensi membahayakan keberlangsungan kinerja bank jangkar. “Ini membuat risiko beralih kepada bank peserta, padahal mereka juga punya masalah sendiri, harus menangani restrukturisasi belasan ribu debitur, lalu di satu sisi mereka harus menolong bank lain,” ucapnya.
Status bank jangkar yang kebanyakan merupakan perusahaan terbuka menurut dia juga dapat mengundang persepsi negatif dari investor.
Alih-alih menjadikan bank sebagai perpanjangan tangan penyangga likuiditas, Aviliani mengusulkan pemerintah untuk mengoptimalkan peran BUMN pengelola aset seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). “Karena dia ini kan semacam perusahaan modal ventura, jadi menempat dana dulu nanti ditarik lagi, agar tidak ada conflict of interest kalau dilakukan oleh sesama lembaga keuangan bank,” ujar dia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah turut mempertanyakan relevansi kebijakan itu, sebab selama ini perbankan telah memiliki akses untuk memperoleh likuiditas tambahan langsung dari Bank Indonesia, seperti dengan melakukan repurchase agreement (repo) surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki.
“Seharusnya skema ini saja sudah cukup, karena soal kecukupan likuiditas ini seharusnya wewenang dan tugas Bank Indonesia, tanpa harus melibatkan pihak lain,” ujarnya.