TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kebijakan makro-fiskal tahun 2021 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal konsolidatif.
"Dengan defisit pada pada kisaran 3,21–4,17 persen terhadap PDB serta rasio utang di kisaran 36,67– 37,97 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)," ujar dia dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Selasa, 12 Mei 2020.
Pada akhir Maret 2020, posisi utang pemerintah berada di Rp 5.192,56 triliun dengan rasio utang 32,12 persen terhadap PDB. Sri Mulyani mengatakan besaran pembiayaan defisit di atas 3 persen itu mengacu kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020.
Sehingga, proses pemulihan ekonomi pasca masa wabah Virus Corona alias Covid-19 dapat berjalan secara bertahap. "Agar tidak mengalami hard landing yang berpotensi memberikan guncangan bagi perekonomian," tutur Sri Mulyani. Kebijakan fiskal menjadi instrumen yang sangat strategis dan vital dalam proses pemulihan ekonomi.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan sisi pembiayaan tahun 2021 diarahkan untuk mendukung countercyclical stabilisasi ekonomi. Berbagai langkah yang akan dilakukan antara lain peningkatan akses pembiayaan bagi UMKM, UMI, dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah lainnya, kata dia, adalah pendalaman pasar, efisiensi cost of borrowing, dan efektivitas quasi fiskal untuk akselerasi daya saing dan peningkatan ekspor, serta dukungan restrukturisasi BUMN, penguatan BLU dan Sovereign Wealth Fund untuk mendukung pemulihan ekonomi dan akselerasi pembangunan.
"Pembiayaan dilakukan secara terukur dan berhati-hati dengan terus menjaga sumber-sumber pembiayaan yang berkelanjutan agar rasio utang terjaga dalam batas aman," ujar Sri Mulyani. Ia menuturkan, ke depannya, pemerintah terus mendorong peran swasta dalam pembiayaan pembangunan melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), termasuk mendorong penerbitan instrumen pembiayaan kreatif lainnya.