TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan pinjaman likuiditas bagi bank penyalur utama dalam Pasar Uang Antar Bank (PUAB) alias bank jangkar. Bank pelat merah hingga beberapa bank swasta kemungkinan bakal mendapat pinjaman likuiditas tersebut.
“Akan dituangkan dalam bentuk SKB (Surat Keputusan Bersama), kami akan finalisasi segera,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin, 11 Mei 2020.
Sederhananya, pemerintah pertama menjual surat utang kepada Bank Indonesia (BI). Hasil dari penjualan tersebut akan ditempatkan di bank jangkar tersebut. Sehingga, tanggung jawab penggunaan uang ada di perbankan.
Sementara itu, perbankan dan lembaga keuangan lain tengah melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya di tengah pandemi Corona atau Covid-19. Jika perbankan tersebut membutuhkan dana untuk menjaga proses restrukturisasi tersebut, maka mereka bisa menggadaikan aset seperti Surat Utang Negara (SUN) yang mereka miliki.
Namun, OJK juga sudah menyediakan platform agar SUN tersebut juga tidak habis total. Jika semua instrumen telah digadaikan, maka perbankan itu pun bisa menggadaikan kredit nasabah mereka kepada bank jangkar.
Setelah itu, barulah bank jangkar menyalurkan pinjaman kepada perbankan yang sudah menggadaikan kredit nasabahnya tersebut. Uangnya berasal dari pinjaman likuiditas dari pemerintah. Inilah yang disebut sebagai fungsi channeling bagi bank jangkar.
Meski demikian, Wimboh dalam rapat bersama Komisi Keuangan DPR pada Rabu, 6 Mei 2020, telah menjelaskan bahwa bank jangkar tidak akan memiliki tanggung jawab sama sekali. “Jadi channeling saja, malah profit,” kata dia.
Sebab, tanggung jawab kredit tetap melekat pada bank yang memiliki nasabah. Bantuan likuiditas inilah yang akan membantu mereka. Dalam rapat tersebut, Wimboh mengatakan, “itu resikonya ada di pemerintah kalau sampai bank pelaksana yang menggadaikan itu tidak bisa membayar gadaiannya,” kata dia.
Semua mekanisme ini disiapkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemerintah membantu dari sisi Non Performing Loan (NPL) alias kredit macet. Dengan kebijakan restrukturisasi , jika ada nasabah yang menunggak pinjaman pokok dan bunga, maka akan dikategorikan lancar. “Sehingga ini tidak akan ada tekanan NPL.” kata Wimboh.
Sampai hari ini, kata Wimboh, tingkat kredit macet memang mengalami kenaikan tapi masih terjaga. Hingga Maret 2020, NPL mencapai 2,77 persen, naik dari Desember yang sebesar 2,53 persen.
Kedua, pemerintah membantu dari sisi likuiditas dengan pinjaman lewat bank jangkar ini. Meski demikian, kata Wimboh, likuiditas perbankan pun sampai hari ini sebenarnya masih menunjukkan kondisi yang baik. Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) per 22 April 2020 terjaga di angka 22,36 persen atau di atas ambang batas.
BISNIS