TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sangat menyayangkan usulan Ketua Badan Anggaran DPR soal cetak uang tanpa kajian secara menyeluruh.
"Mana hitung hitungan dampaknya? Harus ada itu riset akademisnya apalagi nilai cetak uang yang diusulkan Rp 600 triliun tidak kecil," kata Bhima saat dihubungi Jumat, 1 Mei 2020.
Menurutnya, konsekuensi dampak ke inflasi juga perlu diperhitungkan. Dia melihat Indonesia saat ini sudah dihadapi dengan prediksi krisis pangan.
"Jangan lagi ditambah dengan potensi inflasi tinggi. Kita sudah menghadapi krisis pangan, ditambah lagi ada upaya penambahan supply uang tapi tidak berdasarkan pada permintaan ini bisa menyebabkan hyper inflasi atau inflasi yang sangat tinggi," kata dia.
Hal itu kata Bhima, bisa berujung memukul daya beli masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah melakukan sejumlah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penanganan pandemi virus Corona. Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.
Selanjutnya, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp. 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.
HENDARTYO HANGGI