TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah mengkaji alternatif untuk menyelesaikan persoalan utang obligasi sebesar sekitar US$ 500 juta yang bakal jatuh tempo pada Juni 2020. Obligasi dengan nama dengan nama Garuda Indonesia Global Sukuk Limited pada 5 tahun lalu.
"Kami punya tiga opsi, yang pertama dilunasi, yang kedua minta perpanjangan, dan yang terakhir pembayaran dengan diskon," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Rabu, 29 April 2020.
Menurut Irfan, hari ini harga instrumen surat utang perseroan itu sudah turun ke kisaran 40 persen dari harga awal. Namun, berdasarkan sejumlah kajian, ia mengatakan harga surat utang itu masih bisa menguat di kisaran 60-70 persen dari harga awal.
Kecuali melunasi utang, Irfan melihat dua opsi lainnya memiliki risiko terhadap kapabilitas keuangan perseroan. "Jadi tiga opsi itu sedang dibahas dengan pemegang saham, yaitu pemerintah dan CT Corps, terkait jatuh temponya ini."
Di samping itu, untuk bisa melunasi utangnya, perseroan tengah mengkaji opsi refinancing melalui pinjaman bank, khususnya perbankan pelat merah. Kendati, penyaluran kredit perbankan di masa pandemi ini cenderung lebih ketat. Untuk itu, ia pun mengatakan telah berdiskusi dengan bank-bank terkait.
Utang Garuda sejak awal tahun sudah menjadi sorotan. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan bahwa utang sejumlah perusahaan pelat merah bakal jatuh tempo pada tahun ini, salah satunya Garuda Indonesia.
"Garuda yang terberat karena ada utang 500 juta dolar yang akan jatuh tempo," ujar dia dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat, 3 April 2020. Masalah dari Garuda semakin berat lantaran industri penerbangan tengah ambruk dihantam wabah Virus Corona alias COVID-19.
Sebelum adanya wabah Corona, ia mengatakan bersama dengan Garuda telah menemukan jalan keluar. Caranya adalah dengan memaksimalkan penerbangan haji dan umrah, menutup penerbangan luar negeri yang tidak efisien, dan mengutamakan penerbangan domestik. "Awalnya baik, tapi karena sekarang ditutup semua, sudah tentu arus kas sangat negatif."