TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia sejak awal tahun telah melakukan pelonggaran kuantitatif sebesar Rp 503,8 triliun. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan kebijakan tersebut masih perlu ditunjang oleh kebijakan fiskal untuk bisa menggerakkan ekonomi.
"Mungkin ada yang tanya kok BI sudah menambah quantitve easing Rp 503,8 triliun kok belum kelihatan di ekonomi? itu pentingnya kebijakan fiskal," ujar dia dalam siaran langsung, Rabu, 29 April 2020.
Menurut Perry, kebijakan moneter tidak bisa langsung masuk ke sektor riil. Karena itu, ia melihat di sana peran stimulus fiskal bisa langsung menyentuh masyarakat, misalnya melalui insentif industri, jaring pengaman sosial, subsidi KUR, dan lainnya. Ia mengatakan stimulus tersebut perlu dipercepat.
"Nah selain kebijakan fiskal, perlu juga restrukturisasi dari perbankan yang dilakukan OJK. Jadi dana di perbankan ini yang sudah di-quantitave easing Rp 503,8 triliun bisa mengalir ke sektor riil," tutur Perry. Ia mengatakan proses ini sedang dilakukan antara pemerintah dan OJK.
Secara terperinci, Perry mengatakan pelonggaran kuantitatif sebesar Rp 503,8 triliun itu digelontorkan sebesar Rp 386 triliun sebelum Rapat Dewan Gubernur pada 13-14 April 2020. Sementara, sebesar Rp 117,8 triliun diguyur setelah itu.
Perry berujar pelonggaran Rp 386 triliun berasal dari pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder yang dilepas asing sebesar Rp 166,2 triliun dan dari term repo perbankan sebesar Rp 137,1 triliun. Nominal itu juga berasal dari kebijakan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) sebanyak Rp 53 triliun dan swap valas sebanyak Rp 29,7 triliun.
Adapun pelonggaran kuantitatif Rp 117,8 triliun pasca RDG April lalu berasal dari pelonggaran GWM 2 persen dengan total Rp 102 persen untuk bank umum konvensional dan pelonggaran GWM 0,5 persen untuk bank umum syariah atau unit usaha syariah mulai Mei 2020.