TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menjelaskan soal tudingan yang menyebutkan sebagian materi pelatihan di program Kartu Pra Kerja mirip konten gratisan di Youtube. Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Pra Kerja Denni Purbasari mengatakan peserta sebenarnya bisa memilih sendiri pelatihan yang ingin diikuti.
“Kalau itu (pelatihan) dirasa ada di Youtube dan harusnya gratis, ya jangan dibeli,” kata Denni dalam konferensi pers online di Jakarta, Rabu, 22 April 2020. Sehingga, Denni menyarankan peserta untuk memilih pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
Kritik atas materi pelatihan ini sebelumnya mencuat setelah program andalan Presiden Jokowi ini berjalan. Ketimbang mengadakan pelatihan berbayar, sejumlah pihak menyarankan anggaran Kartu Pra Kerja diberikan untuk kebutuhan lain bagi masyarakat terdampak Covid-19.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira misalnya menyarankan Pemerintah membatalkan pendaftaran gelombang kedua untuk mencegah pemborosan anggaran.
"Dibandingkan memberikan pelatihan online, lebih baik Pemerintah memberikan subsidi internet selama 3-5 bulan kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga masyarakat bisa mengakses konten pelatihan serupa di Youtube dan platform gratis lainnya," tutur Bhima.
Lebih lanjut, Denni kemudian menjelaskan pertimbangan di balik penyediaaan materi pelatihan Kartu Pra Kerja, salah satunya oleh oleh Ruangguru. Menurut dia, target jumlah peserta program yang sebanyak 5,6 juta merupakan angka yang tidak kecil. Jutaan orang ini memiliki latar belakang pendidikan, preferensi, dan kebiasaan yang berbeda.
Menurut Denni, pemerintah tidak memiliki penilaian tertentu untuk mengidentifikasi 5,6 juta peserta ini. Sehingga, pemerintah mengambil keputusan untuk menyediakan materi pelatihan sebanyak mungkin, layaknya meja prasmanan yang berisi beragam pilihan lauk dan makanan. “Dari yang ringan sampai yang berat, dari yang murah sampai yang mahal, intinya seperti itu,” ujar Denni.
Sehingga dalam sistem Kartu Pra Kerja saat ini, peserta bisa memilih sendiri sesuai kebutuhan. Tapi jika penilaian dilakukan oleh pemerintah sendiri, kata Denni, maka akan ada unsur subjektifitas. “Sebaiknya kami kan tidak jadi, dalam tanda kutip diktator, ini layak dan ini tidak layak,” ujarnya.