TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono menyebutkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Virus Corona hanya bertujuan memberi fleksibilitas bagi keuangan negara. Fleksibilitas ini dibutuhkan agar keuangan negara dapat mengantisipasi dampak virus Corona terhadap perekonomian nasional.
Dini menjelaskan, perumusan Perpu sebelumnya didahului dengan diskusi-diskusi dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam perkembangannya diketahui ada kebutuhan pelebaran defisit dan fleksibilitas melakukan pinjaman bilateral dari luar negeri apabila dibutuhkan.
"Jadi, tujuan Perpu 1/2020 adalah semata-mata memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal dan langkah-langkah lain yang diperlukan," kata Dini, Senin, 20 April 2020.
Istana juga menanggapi tudingan sejumlah pihak soal Perpu yang dinilai bertujuan menciptakan kekebalan hukum bagi pejabat pengambil keputusan yang melakukan pelanggaran dalam penggunaan anggaran wabah Covid-19. "Tidak ada maksud untuk menciptakan impunitas apapun dalam Perpu 1/2020," ujar Dini.
Sebelumnya sejumlah tokoh mengkritik Perpu tersebut karena dinilai melanggar UUD 1945 dan memunculkan kekebalan hukum bagi pejabat pelaksana kebijakan tersebut. Mereka antara lain mantan Ketua MPR Amien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin, dan mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban.
Ada juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, serta mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua yang ikut mengkritik kebijakan itu. Mereka kemudian yang menggugat beleid dan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Terkait hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mempersilakan bagi pihak yang berkeberatan dengan Perpu itu untuk melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Ia pun menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Mahkamah Konstitusi untuk menyikapi persoalan ini.
Sepanjang sejarah di Indonesia, kata Mahfud, sudah ada dua Perpu yang ditolak, baik oleh DPR ataupun MK. Yang pertama adalah soal Jaringan Pengaman Sosial Keuangan pada 2008 dan Perpu 1 Tahun 2014 soal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Tidak apa-apa tidak ada sanksinya, tolak-tolak saja. Tapi DPR kan tahu sendiri akibat sesudah itu," tutur Mahfud. Ia pun berharap dari proses ini justru akan ditemukan jalan keluar tanpa menyalahkan pemerintah.
BISNIS | CAESAR AKBAR