TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Zulkifli Zaini mengatakan utang perseroan dalam valuta asing besar. Saat ini jumlahnya terus membengkak seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Jika rupiah melemah, maka jumlah utang kami meningkat dan kami sudah hitung," kata Zulkifli dalam rapat virtual dengan komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 16 April 2020. Jika rupiah melemah Rp 1.000 per dolar AS, maka utang PLN naik Rp 9 triliun dan bila rupiah melemah Rp 2.000, maka utang PLN naik Rp 18 triliun.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, pemerintah mematok asumsi nilai tukar rupiah di level Rp 14.400 per dolar AS. Sementara dalam situs resmi Bank Indonesia hari ini, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR, rupiah tercatat Rp 15.787 per dolar AS.
Kebutuhan valuta asing yang besar ini tak bisa dibendung, menurut Zulkifli, karena PLN tak bisa leluasa meminjam dari bank domestik setelah ada pembatasan maksimal pemberian kredit sebesar Rp 140 triliun. "Makanya kami pinjam di luar bank domestik. Sebanyak 70 persen dari utang PLN adalah dalam valas. Begitu rupiah lemah, maka utang naik," ujar dia.
Kendati begitu, secara operasional perseroan terus memitigasi risiko dengan cara melakukan hedging. "Melalui hedging, memaksimalkan semaksimal mungkin yang berada dari bank domestik," kata Zulkifli.
Dalam kesempatan yang sama Direktur PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan kondisi fluktuasi rupiah saat ini memang menantang. Terlebih karena hampir semua pinjaman dan surat utang Pertamina dalam valuta dolar AS. "Ini dampaknya juga luar biasa," ujarnya.