TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Faisal Basri menilai Revisi Undang-undang Mineral dan Batubara yang diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat akan memberikan keuntungan kepada para pengusaha batubara tanah air. "Ini ibarat karpet merah yang membentang di tempat yang sama dengan Omnibus Law, jadi karpet merahnya bertumpuk dan lebih empuk bagi yang menapakinya," ujar dia dalam diskusi daring, Rabu, 15 April 2020.
Salah satu poin kemudahan yang ia soroti antara lain adalah berkaitan dengan perpanjangan kontrak. Dengan revisi beleid itu, Faisal melihat ada pasal yang membuat perpanjangan kontrak tidak lagi perlu lewat lelang. Di samping itu, beleid ini juga disebut bakal membuat pengajuan perpanjangan kontrak diperpanjang dari dua tahun menjadi lima tahun.
Persoalan batubara, menurut Faisal, sebenarnya menjadi salah satu agenda dalam Omnibus Law. Namun, ia melihat dengan nasib rancangan beleid itu yang masih tanda tanya di tengah mewabahnya Virus Corona ini, RUU Minerba menjadi pelapis bila Omnibus Law belum gol di periode ini. "Sekarang karpet merah digelar lagi, ditumpuk, dengan adanya RUU minerba inisiatif DPR."
Faisal melihat keinginan sejumlah kalangan akan terbitnya revisi beleid ini berkaitan dengan akan akan habisnya enam kontrak karya di sepanjang periode 2020-2025. Enam perusahaan ini, tutur dia, adalah perusahaan besar yang menguasai hampir 70 persen produksi nasional. "Jadi ada kedaruratan memang."
Apalagi, tutur Faisal, batubara hingga saat ini menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Pada 2019 saja, produksi batubara di Tanah Air mencapai 616 juta ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 9 miliar. Berdasar pengamatannya, belum ada komoditas di Indonesia yang bisa menyaingi batubara dari segi nilai. "Mendekati saja tidak sanggup, sawit kalah."
Namun demikian, Faisal kurang sepakat dengan langkah dewan menggeber pembahasan revisi beleid itu. Ketimbang itu, ia lebih mendukung pemerintah mengembalikan dan mengutamakan konsistensi penerapan UU Minerba yang kini masih berlaku.
Caranya, adalah dengan memastikan bahwa tambang yang habis kontraknya harus dikembalikan ke negara, sehingga perusahaan tidak otomatis mendapat jaminan memperolehnya kembali. Di samping, ia mendorong adanya sovereign wealth fund yang bisa dipergunakan di kondisi krisis.
Sebelumnya, DPR RI menyebut telah melakukan sosialisasi hasil pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi atas Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan selama ini panja UU Minerba tetap menerima masukan dari berbagai pihak baik dilakukan oleh fraksi-fraksi yang tergabung dalam Komisi VII maupun melalui komisi.
"Kami sudah sosialisasikan. Beberapa waktu lalu, bulan Desember, kami diskusi dengan Himpunan Mahasiswa Pertambangan. Bahkan, hari Selasa kemarin, kami berdiskusi tim FH UI [Fakultas Hukum Universitas Indonesia] yang secara khusus meneliti masalah-masalah pertambangan dan batu bara dalam rangka penyusunan UU Minerba," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu, 8 April 2020.
Sugeng menuturkan RUU Minerba ini bukan disusun periode sekarang atau 2019 - 2024, melainkan periode lalu 2014 - 2015. Sejak 2015, panja Minerba periode lalu menyusun DIM dengan melibatkan banyak unsur, sudah mendiskusikan, uji publik melibatkan unsur kampus, pelaku usaha, pakar, hingga LSM. "Nah, belum sempat dilakukan pembahasan DIM, periode DPR telah berganti karena tidak cukup waktu," katanya.
Ketika periode DPR RI berganti, periode sekarang ini, RUU Minerba kembali masuk sebagai UU prioritas. Melalui rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan pembahasan UU Minerba dengan Carry Over, yakni melanjutkan proses apa yang sudah di mulai periode lalu yakni mengingat aspek aspek dministratif dan substantif sudah terpenuhi.
"DIM sudah tersusun dan sudah ada surpres [Surat Presiden], yang didalamnya tercantum [lima] kementrian yang ditugaskan sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan UU Minerba kali ini, yang selanjutnya ke-lima kementrian itu mengutus wakilnya sebagai anggota Panja UU Minerba," tutur Sugeng.
CAESAR AKBAR | BISNIS