Jika dirinci, Gita mengatakan duit Rp 1.600 triliun itu diperlukan antara lain Rp 600 triliun untuk anggaran bantuan kepada tenaga kerja yang terimbas selama wabah, Rp 400 triliun untuk fasilitas kesehatan dan kebutuhan sosial, Rp 300 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, serta Rp 300 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional di industri padat karya dan strategis.
Pembayaran atau pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 600 triliun selama enam bulan itu dihitung dengan asumsi pembayaran gaji pekerja per bulan di nasional kurang lebih Rp 324 triliun. Dengan adanya pelbagai pembatasan, sekitar 30-40 persen penerimaan pekerja berdasarkan angka tersebut bisa terdampak, atau sekitar Rp 100 triliun per bulan.
"Anggaplah selama ketidakpastian berlangsung ini harus ada yang mikir, mereka harus terima gaji. Walau di rumah dia harus tetap menerima uang untuk bisa beli makan. Makanya, satu satunya aktor yang bisa proaktif adalah pemerintah," ujar Gita. Sementara, kebutuhan Rp 400 triliun di sektor kesehatan diperlukan untuk memperbanyak tes, meningkatkan kapasitas rumah sakit, membeli pelbagai alat kesehatan, serta peningkatan kapasitas tenaga medis.
Kebijakan mencetak dan menyiram uang ke masyarakat ini, menurut Gita, memiliki risiko, antara lain kenaikan angka inflasi dan moral hazard. Karena itu, harus dipastikan bahwa guyuran duit ini diberikan secukupnya untuk mempreservasi gaya hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan operasional saja. "Jadi penyiraman duit hanya untuk kebutuhan sosial masyarakat dan restrukturisasi untuk pelaku usaha."
Untuk teknisnya, ia mengatakan nanti pemerintah dan perbankan secara bijaksana bisa merancang siapa saja penerima kucuran dana itu, jumlahnya berapa, dan kapan akan diberikan. Guyuran itu bisa dilakukan bertahap, namun Gita Wirjawan menyarankan agar besarannya diumumkan sekaligus untuk membangun keyakinan masyarakat.