TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing) demi pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19. Salah satunya untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Quantitative easing hampir Rp 300 triliun kami tambahkan ini dalam bentuk penurunan GWM (giro wajib minimum) rupiah sebesar 200 basis poin untuk bank umum konvesional," kata Perry dalam siaran langsung pengumuman RDG BI di Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 14 April 2020.
Dan kata dia, penurunan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020. Menurutnya, itu akan menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 102 triliun.
Adapun instrumen kuantitas atau quantitative easing, yaitu juga ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repokepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlyingSUN/SBSN dengan tenor sampai dengan satu tahun.
Juga, kata Perry, BI tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode satu tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Dia berharap kebijakan itu bisa mendorong pemulihan ekonomi. Di mana BI terus koordinasi dengan Menteri Keuanyan Sri Mulyani Indrawati dan otoritas terkait yang akan memberikan tambahkan stimulus fiskal.
Adapun Rapat Dewan Gubernur BI pada 13-14 April 2020 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di 4,5 persen. Suku bunga fasilitas simpanan juga turun 25 bps menjadi 3,75 persen, dan suku bunga fasilitas pinjaman turun 25 bps menjadi 5,25 persen.
"Keputusan ini memperimbangkan perlunya untuk menajaga stabilitas eksternal termasuk menjaga nilai tukar rupiah di tengah ketidakpasian global yang masih tinggi," kata Perry.
HENDARTYO HANGGI