TEMPO.CO, Jakarta - Center of Reform on Economics menilai pemerintah semestinya mendahulukan penerbitan surat utang negara domestik ketimbang surat utang global alias global bond dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran saat ini. Pasalnya, Sentimen pasar keuangan global saat ini masih sangat negatif akibat ketidakpastian yang dipicu oleh pandemi covid-19, yang berarti minat pembeli sangat rendah.
Imbasnya penerbitan global bond di masa sekarang membuat pemerintah terpaksa meningkatkan insentif bunga kupon yang lebih besar atau tenor sangat panjang. "Itu terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun baru-baru ini," ujar Direktur Riset Core Piter Abdullah Redjalam dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 April 2020.
Ditambah lagi, saat ini Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memungkinkan Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara di pasar perdana. Menurut Piter, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon yang lebih rendah dengan tenor yang wajar.
Dengan begitu, tutur Piter, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang. "Ekspansi moneter yang terjadi melalui pembelian SUN Domestik oleh BI diyakini tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang berlebihan karena tekanan inflasi di tengah wabah Covid-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan."
Belakangan, pemerintah memang memutar otak untuk bisa memenuhi pembiayaan anggarannya. Pasalnya, baru-baru ini pemerintah memutuskan untuk menggelontorkan Rp 405, 1 triliun alias sekitar 2,5 persen dari produk domestik bruto untuk memberi stimulus di bidang kesehatan, jaring pengaman soial, dan pemulihan ekonomi.
Namun, kata Piter, bertambahnya belanja negara itu tidak bisa diimbangi oleh pendapatan negara yang diprediksi seret akibat dampak wabah Virus Corona. Kondisi ini akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai 852 triliun atau setara 5,07 persen terhadap PDB.
"Kebijakan stimulus fiskal, pelebaran defisit dan pembiayaan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan," ujar Piter. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam mengambil kebijakan pembiayaan, pemerintah harus mempertimbangkan adanya pelbagai risiko, antara lain risiko dominasi kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah, risiko pelemahan nilai tukar, risiko crowding out, dan risiko peningkatan utang luar negeri.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa Indonesia untuk pertama kalinya menerbitkan global bond dengan tenor 50 tahun pada Selasa, 7 April 2020. Surat utang global bertenor 50 tahun itu adalah salah satu seri dari tiga seri yang diterbitkan pemerintah. Surat utang seri RI0470 itu memiliki tenggat jatuh tempo 15 April 2070. Adapun nominal yang diterbitkan adalah sebesar US$ 1 miliar dengan yield 4,5 tahun.
Sri Mulyani mengatakan salah satu pertimbangan dalam menerbitkan surat utang global dengan tenor 50 tahun antara lain memanfaatkan preferensi investor global bonds pada tenor yang sangat panjang. Di samping itu, penerbitan global bond ini juga diharapkan bisa menyeimbangkan profil jatuh tempo surat utang negara. "Demand pasar domestik cenderung pada tenor pendek."
Di samping itu, penerbitan surat utang tersebut pun akan memberikan acuan alias benchmark tenor baru bagi Indonesia. Di samping tenor 50 tahun itu juga memanfaatkan kurva tenor jangka panjang yang cenderung flat. "Biaya yang tidak terlalu meningkat. Dari yield, penerbitan bond masih lebih baik daripada 2018-2019," tutur Sri Mulyani.
Selain seri tersebut, Indonesia juga menerbitkan surat utang global seri RI1030 dengan tenor 10,5 tahun yang akan jatuh tempo pada 15 Oktober 2030. Nominal yang diterbitkan adalah sebesar US$ 1,65 miliar dengan yield 3,9 persen. Di samping itu, pemerintah juga menerbitkan global bond dengan seri RI1050 dengan tenor 30,5 tahun yang jatuh tempo di 15 Oktober 2050. Nominal yang diterbitkan adalah US$ 1,65 miliar dengan yield 4,25 persen. Dengan demikian, total global bond yang diterbitkan pemerintah adalah US$ 4,3 miliar.