TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelbagai tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya belakangan ini. Menurut Luhut, tuduhan tersebut bukan lagi sebuah kritik, melainkan ujaran kebencian yang dinilai melampaui batas.
Pernyataan ini ia sampaikan melalui akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan, Kamis petang, 9 April 2020. "Setiap Tindakan Ada Konsekuensinya," ujar Luhut seperti dikutip dari postingan di media sosialnya tersebut.
Selain satu kalimat pernyataan itu, Luhut juga mengunggah tujuh slide berisi curahan hatinya. Ceritanya dimulai dari bagaimana Luhut menghabiskan lebih dari 30 tahun masa hidupnya sebagai prajurit, tak pernah ragu ketika terjun ke daerah operasi. Sebagai prajurit Kopassus, ia terbiasa menghadapi pertempuran jarak dekat dan situasi mencekam.
Luhut Binsar Panjaitan. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, kata Luhut, menjadi pedoman yang tidak akan diingkarinya. Sampai pada 1975, ketika anak buahnya mati. "Ternyata manusia memang terdiri dari darah, daging, tulang, juga emosi," seperti dikutip dari slide kedua dari postingan Luhut di Instagram tersebut.
Ia juga menceritakan bagaimana anaknya, Uli, kala itu berusia 3 tahun menangis melihatnya saat pulang ke rumah. Bukan karena menahan rindu ke ayahnya, tapi takut karena ada orang asing di kamarnya. Hal ini yang kemudian membuat Luhut sangat terpukul dan menjadi momen tersendiri atar kembali mengingatkan dirinya untuk menyelesaikan tugas negara sebaik-baiknya, sehingga bisa pulang dan menebus utang waktu dengan keluarga.
Ketika pensiun dari tentara dan menjadi pejabat publik, Luhut mengaku semangat pantang menyerahnya tak pernah luntur. "Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran dan keadilan," katanya di slide keempat.
Luhut mengaku terbiasa tak mudah memasukkan kritik ke dalam hatinya karena pada dasarnya ia senang menerima masukan yang membangun dari siapa pun. "Saya selalu mempersilahkan siapapun yang ingin menyampaikan kritik untuk datang dan duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa. Bukan dengan melempar ucapan yang menimbulkan kegaduhan tanpa fokus pada inti permasalahan."
Namun belakangan, Luhut melihat dinamika yang terjadi sudah melampaui batas. Ia tak habis pikir kenapa di tengah pandemi Corona, ujaran kebencian dan fitnah terus dipelihara."Mengapa kita malah terus-terusan mencari perbedaan, tanpa sedikit pun berpikir persatuan?" katanya pada slide berikutnya.
Pada momen seperti ini Luhut mengaku rindu pada sosok Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang semangat positifnya selalu menginsipirasinya dalam menjalani hidup sebagai pejabat negara. "Dari Gus Dur saya belajar, perbedaan dan kritik pasti ada dan tak bisa dihilangkan karena perbedaan itu lahir bersama kita."