TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU belum menemukan adanya dugaan kartel yang menjadi pemicu harga gula pasir di level pasar melambung. Juru bicara KPPU, Guntur Syah Saragih, menjelaskan kenaikan harga terjadi karena pemerintah terlambat menerbitkan surat perizinan impor atau SPI.
"SPI untuk impor gula baru terbit Maret. Padahal yang diimpor adalah raw sugar atau gula mentah sehingga tidak dapat langsung dikonsumsi masyarakat karena diproses dulu," kata Guntur dalam konferensi video, Rabu, 8 April 2020.
Di saat yang sama, Guntur menjelaskan bahwa petani gula di Indonesia belum memasuki masa panen. Adapun panen diprediksi baru akan terjadi pada semester kedua atau tengah tahun nanti. Dalam kondisi ini, keterlambatan izin impor akan mendorong kelangkaan stok gula yang memicu tingginya harga komoditas.
Berdasarkan pemantauan KPPU, rata-rata harga gula pada 30 Maret hingga 7 April di semua jenis pasar melampaui harga eceran tertinggi atau HET. Di pasar modern, harga gula per kilogram mencapai Rp 14.800. Sedangkan HET gula per kilogram hanya Rp 12.500.
Sementara itu, harga di pasar tradisional tercatat lebih tinggi ketimbang di pasar modern, yakni mencapai Rp 18.500 per kilogram atau 44 persen lebih tinggi ketimbang HET. Kemudian, harga gula pasir rata-rata di Jakarta adalah Rp 18.921 per kilogram.
Guntur mengatakan semestinya pemerintah tak menunda-nunda penerbitan SPI karena angka konsumsi gula masyarakat per tahun bersifat tetap dan bisa diprediksi. Jadi, dengan begitu, menurut dia pemerintah sudah memiliki acuan untuk kuota impor.
"Semestinya untuk bulan Januari, Februari kita juga enggak perlu konsumsi gula stok tahun 2019," ujar Guntur.
Lebih lanjut, Guntur khawatir keterlambatan izin impor ini akan berefek domino, yakni membuat pasokan gula menumpuk di semester kedua. Kondisi tersebut ditengarai bakal mengakibatkan harga gula di level petani anjlok.
Meski belum ditemukan adanya dugaan pelanggaran di level pengusaha, Guntur mengatakan KPPU akan terus menyelidiki kenaikan harga komoditas tersebut. Seandainya ditemukan ada dugaan kartel di level importir, ia memastikan komisioner akan segera menaikkan kasus tersebut ke tingkat penyidikan bahkan sidang hingga putusan.
Seumpama terbukti melakukan kartel, pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Denda untuk pelanggaran itu mencapai Rp 25 miliar.