TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) sedang menyiapkan sejumlah aturan turunan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 atau Perpu Corona. Salah satu ketentuan yang diatur adalah kewenangan baru BI untuk membeli surat utang negara di pasar perdana.
“Siang malam, siang malam, kami terus maraton membahas itu,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat virtual bersama Komisi Keuangan DPR di Jakarta, Rabu, 8 April 2020.
Saat ini, pemerintah bersiap menerbitkan surat utang baru berupa Pandemic atau Recovery Bond untuk membiayai besarnya anggaran penanganan virus Corona atau Covid-19. Lalu, terbitlah Perpu 1 Nomor 2020 alias Perpu Corona yang memberikan kewenangan bagi BI untuk memberi surat utang tersebut di pasar perdana.
Pasal 19 dalam Perpu ini menyebutkan BI dalam membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah. Sementara, Pasal 55 ayat 4 pada UU BI menyebutkan bahwa BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Walhasil, Pasal 55 ayat 4 ini pun gugur dengan adanya Perpu tersebut.
Lalu dalam rapat bersama Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS pada awal pekan ini, anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan Dolfie meminta pemerintah menyiapkan aturan turunan dari Perpu 1 Tahun 2020. Tak hanya bagi BI, tapi juga bagi Kemenkeu, OJK, dan LPS. “Jangan saat bikin kebijakan, dicari justifikasinya,” kata dia.
Sehingga, keempat lembaga mengebut pembentukan aturan turun. Tapi kepada Komisi Keuangan DPR hari ini, Perry kembali menjelaskan bahwa kewenangan pembelian surat utang oleh BI ini adalah pilihan terakhir. Ia mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani akan memaksimalkan terlebih dahulu dana yang ada dari lembaga multinasional lewat global bond. “Selain itu, kami juga perhitungkan dampaknya ke inflasi,” kata dia.
Selain aturan soal kewenangan pembelian surat utang, BI juga menyiapkan aturan turunan soal pengelolaan lalu lintas devisa bagi penduduk, dan berbagai ketentuan pinjaman likuiditas khusus. “Kalau nanti siap, kami sampaikan, kami akan melakukan kebijakan ini dengan prudent, sesuai dengan tata kelola,” ucap Perry.
Sejak Kamis pekan lalu, 2 April 2020, Perry juga menjelaskan ke publik soal kewenangan baru yang dimiliki oleh lembaganya ini. “Mohon jangan diartikan ini sebagai Bailout, mohon jangan diartikan ini sebagai BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” kata Perry dalam konferensi pers online.
BLBI adalah bantuan kucuran dana Rp 144,5 triliun yang diberikan BI kepada 48 bank yang terkena penarikan besar-besaran (rush) pasca krisis moneter 1997/1998. Para pemegang saham bank penerima BLBI harus mengembalikannya dengan sejumlah skema.
Namun, hingga 2007, banyak pengutang BLBI yang belum melunasi kewajibannya. Hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008 pun menunjukkan ada penyimpangan penyaluran BLBI dan kelalaian yang menimbulkan kerugian negara Rp 138,4 triliun.
Sehari kemudian, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengkritik tidak adanya limitasi isu dan waktu dalam Perpu Corona ini. Sohibul mengingatkan beleid ini berpotensi mengulang kembali skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). "Moral hazard akan terbuka lebar dan cost of crisis yang akan ditanggung oleh negara akan sangat tinggi," kata Sohibul dalam surat terbuka untuk Jokowi, Jumat, 3 April 2020.