TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) tengah mengkaji mekanisme relaksasi penundaan pembayaran premi jatuh tempo selama empat bulan di tengah wabah virus Corona (Covid-19). Hal itu merujuk pada kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta perusahaan asuransi memberikan kelonggaran pembayaran premi baik bagi nasabah perorangan maupun korporasi.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon menuturkan pemberian relaksasi itu bersifat tidak wajib, melainkan merupakan suatu pilihan yang dapat diambil oleh perusahaan asuransi jiwa. “Kami berpendapat bahwa penerapan penundaan pembayaran premi ini hanya wajib dilakukan apabila perusahaan asuransi mengakui tagihan premi yang berusian hingga empat bulan itu sebagai aset yang diperkenankan dalam perhitungan tingkat solvabilitas,” ujar Budi seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Selasa 7 April 2020
Asosiasi mengingatkan kepada nasabah untuk selalu memahami ketentuan-ketentuan yang tertera di dalam polis, termasuk mempertimbangkan opsipenundaan pembayaran premi dan pengaruhnya kepada perencanaan keuangan dan investasi nasabah. “Kami juga mengimbau nasabah untuk memastikan perlindungan asuransi jiwa yang dimilikinya tetap aktif dan menghubungi perusahaan asuransi masing-masing jika ada pertanyan,” kata Budi.
Adapun di tengah situasi perekonomian yang menantang, industri asuransi meminta OJK memberikan tambahan relaksasi bagi perusahaan asuransi yang memasarkan Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (Paydi) atau unit link. Budi berujar pelonggaran yang diminta adalah izin untuk mengganti pertemuan antara tenaga pemasar dan calon nasabah yang sebelumnya harus dilakukan secara langsung atau tatap muka, menjadi secara digital.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Riswinandi mengatakan kebijakan relaksasi tersebut diharapkan dapat membantu melonggarkan perhitungan solvabilitas, serta untuk mendukung kinerja perusahaan di tengah pandemi. Selain pembayaran premi, OJK memberikan relaksasi lainnya berupa perpanjangan batas waktu penyampaian laporan berkala perusahaan kepada OJK dan penyelenggaraan penilaian kemampuan dan kepatutan pihak utama melalui telekonferensi.
Riswinandi menegaskan sampai dengan laporan keuangan bulanan Februari lalu, seluruh perusahaan asuransi terpantau masih berada dalam kondisi normal. OJK mencatat penghimpunan premi industri asuransi tumbuh 4,7 persen secara tahunan yaitu sebesar Rp 46,5 triliun.
Sedangkan, indikator ketahanan permodalan yaitu risk based capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing tercatat sebesar 670 persen dan 312 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen. “Kami akan terus memperhatikan kesehatan mereka, termasuk juga dari sisi penempatan investasi yang dilakukan,” ujarnya.