Tempo.Co, Jakarta - Pemerintah resmi menyerahkan dokumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Hadapi Covid-19 alias Perpu Corona. Perpu ini diserahkan agar DPR bisa segera membahas dan mengesahkannya sebagai UU baru.
“Pak Presiden sampaikan pesan ke kami, untuk menyerahkan RUU ini ke pimpinan DPR, dengan harapan bisa dibahas dan disetujui dalam waktu yang tidak terlalu lama,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mewakili pemerintah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 2 April 2020.
Baca Juga:
Dokumen Perpu yang kini menjadi Rancangan UU tersebut diserahkan Sri Mulyani kepada Ketua DPR Puan Maharani. Sri Mulyani datang menjadi perwakilan pemerintah bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dari DPR, hadir pimpinan seperti Rachmat Gobel hingga Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah.
Adapun Perpu ini sudah diteken oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 31 Maret 2020 Lewat Perpu ini, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan baru untuk menangani virus corona yang semakin meluas di Indonesia. Beberapa di antara aturan tersebut yaitu menambah batas defisit anggaran melebihi 3 persen terhadap PDB, hingga mengizinkan Bank Indonesia untuk membeli surat utang negara dari pasar perdana.
Di saat yang bersamaan, pemerintah juga telah menyiapkan tambahan belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. Dengan rincian: Rp 75 triliun untuk anggaran kesehatan, Rp 110 triliun untuk program jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri, dan Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional.
Sri Mulyani berharap Perpu ini bisa menjadi payung hukum bagi sejumlah pihak yang terlibat dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, di tengah pandemi ini. Sejumlah instansi seperti Kejaksaan, Polri, hingga KPK, kata dia, dilibatkan sedari awal agar pelaksanaan Perpu ini tidak disalahgunakan oleh sejumlah pihak.
Sementara itu, Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar menggunakan pelebaran defisit anggaran ini sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara. Defisit di atas 3 persen pun, harus digunakan dalam kondisi yang urgen, bukan untuk waktu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. “Agar setelah keluar dari corona ini, tidak menimbulkan masalah baru dalam sistem keuangan,” kata dia.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah sebelumnya juga mengingatkan hal senada. Said juga mewanti-wanti otoritas bank sentral dan OJK harus betul-betul mengantisipasi peluang penyelewengan. "Kami harapkan jangan sampai ada penumpang gelap, jangan sampai ada kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) jilid II," kata Said kepada Tempo.
FAJAR PEBRIANTO | BUDIARTI UTAMI PUTRI