TEMPO.CO, Jakarta - Untuk menambah likuiditas dalam penanganan dampak pandemi COVID-19, pemerintah berencana menerbitkan surat utang baik dalam bentuk SUN, SBSN, maupun global bond. Dengan kewenangan baru seperti diamanatkan dalam Perppu 1/2020, Bank Indonesia akan bertindak sebagai last resort yang dapat membeli surat utang tersebut dari pasar primer, jika tidak terserap oleh pasar domestik maupun global.
Menanggapi kekhawatiran berbagai pihak, Gubernur BI Perry Warjiyo berkali-kali menekankan bahwa skema pembiayaan COVID-19 ini tidak akan membuat Indonesia kembali mengulang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997-1998 silam.
Asal tahu saja, kasus BLBI terjadi di mana bank sentral menerapkan skema bantuan likuiditas kepada bank-bank sistemik yang sedang mengalami masalah. Namun, dalam prakteknya, skema BLBI itu banyak diselewengkan, baik oleh penerima dana maupun saat proses penyalurannya.
“Namun ini bukan BLBI. Bagaimana defisit fiskal dibiayai dengan dana-dana pemerintah yang ada dan relokasi anggaran, hingga kemudian penerbitan SUN dan SBSN. BI sebagai last resort dan kami berkoordinasi sangat erat agar dasar pembiayaan fiskal moneter tetap prudent,” kata Perry dalam paparan Live, Kamis 2 April 2020.
Dia mengatakan bank sentral akan menjaga tata kelolanya lewat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari empat lembaga yakni BI, LPS, OJK, dan Kementerian Keuangan. “Sehingga ada check and balance di dalam pengambilan keputusan. Kami lakukan ini sebagai pencegahan dari awal atau langkah-langkah antisipasi,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi krisis 1998 dan 2008 juga berbeda dengan saat penyebaran pandemi COVID-19 ini, terutama dengan kondisi permodalan dan kesehatan aset industri jasa keuangan. Dengan langkah yang diambil pemerintah pusat dan daerah, yakni berupa pembatasan social yang lebih luas, penyebaran wabah COVID-19 diharapkan dapat lebih ditekan sehingga biaya kesehatan dapat terkendali.
“Dengan tata kelola KSSK, langkah-langkah antisipatif seperti stimulus besar, dunia usaha bisa kembali normal. Jadi jangan disamakan dengan BLBI. Di sini BI sebagai last resort untuk defisit fiskal dan ada koordinasi empat lembaga, kita sama-sama menjaga kesehatan ekonomi,” paparnya.
Sebagai informasi, dalam UU Bank Indonesia, bank sentral tidak dapat membiayai defisit fiskal dari pasar primer sebab hal ini akan menimbulkan kenaikan uang beredar dan berdampak pada inflasi. Namun, dalam kondisi tidak normal akibat pandemi COVID-19, pemerintah menerbitkan Perppu baru yang memberikan BI kewenangan sebagai last resort untuk menyerap surat berharga dari pasar primer yang tidak terserap oleh pasar.