Tempo.Co, Jakarta - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, menuturkan perlunya penambahan porsi energi terbarukan terutama pembangkit listrik tenaga surya, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2020-2029.
"Prediksinya pada 2025 harga solar panel akan lebih murah dari batu bara, jangan sampai paradoks, inginnya murah (menggunakan batu bara) malah jadi mahal dan memberi polusi bagi lingkungan, double ruginya," ujar dia dalam siaran langsung, Senin, 30 Maret 2020. Ia menyebutkan tren yang terjadi di dunia, khususnya Asean, negara-negara mulai beralih ke energi bersih.
Berdasarkan data yang Berly miliki, diperkirakan harga panel surya memang terus merosot setiap tahunnya. Kendati, pada saat ini, biaya listrik dari panel surya memang terhitung lebih mahal daripada batu bara.
Dari grafik tersebut, tampak pada 2025 harga pemasangan panel surya akan lebih murah dari batu bara yang harganya cenderung stagnan. Pada 2025, diperkirakan biaya yang dikeluarkan untuk listrik dari panel surya adalah di kisaran US$ 50-an per megawatt per jam. Sementara, biaya dari batu bara adalah sekitar US$ 70-an per megawatt per jam.
"Kalau bisa kita bisa tahan beberapa proyek pembangkit listrik tenaga uap yang belum jadi, ditunda, dan dialihkan ke solar panel dan wind yang potensinya luar biasa," tutur Berly.
Ia mengatakan Indonesia memang perlu menambah produksi dan pasokan listriknya, khususnya di luar Jawa. Sebab, saat ini pemerintah merencanakan Tanah Air berkembang ke arah industri dan teknologi digital. "Saat ini konsumsi listrik per kapita kita lebih rendah dibanding Malaysia dan Thailand."
Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengungkapkan hal serupa. Adila mendukung Indonesia untuk mengalihkan sumber listriknya dari energi fosil batu bara ke energi baru dan terbarukan. Di samping itu, ia mengatakan pemerintah perlu meninjau kembali megaproyek 35.000 megawatt. "Asumsi yang digunakan itu terlalu ambisius," tutur Adila.
Misalnya saja, kata Adila, rencana itu dirancang dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 7,1 persen per tahun. Padahal, realisasinya rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di kisaran 5 persen. Berikutnya, asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik 8,7 persen padahal realisasinya hanya 4,4 persen.
Dengan asumsi yang meleset itu, Adila mehatakan hingga Februari lalu pembangkit yang sudah beroperasi dari megaproyek itu hanya 19 persen. Pemerintah pun memutuskan untuk menuda penyelesaian proyek itu hingga 2028. Terkait komposisi pembangkit, pada 2019 tercatat bahwa bauran energi masih didominasi oleh batu bara sebesar 63,1 persen, gas 21,3 persen. Energi baru terbarukan 11,5 persen, dan bahan bakar minyak 4 persen.
Ia mengatakan komposisi itu mesti diubah dengan mengedepankan energi baru dan terbarukan. Pasalnya, berdasarkan RUPTL 2019-2028, pemerintah berencana menambah PLTU baru dengan kapasitas 27 ribu megawatt. Padahal, saat ini kapasitas PLTU yang eksisting sudah sebesar 28 ribu megawatt. Adapun reserve margin di pulau Jawa-Bali pada tahun 2018 mencapai 30 persen.
"Pembangunan PLTU dengan masa operasi 40 tahun bisa mengunci kesempatan bagi energi baru dan terbarukan untuk berkembang di Indonesia," kata Adila.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya tengah menyiapkan paket kebijakan baru untuk menentukan tarif baru energi terbarukan. Paket tarif baru ini dimaksudkan untuk mendorong investor menanam modalnya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan.
“Tahun ini kita akan dorong pemanfaatan sumber energi terbarukan. Antara lain, kita siapkan tarif-tarif baru yang akan memberikan daya tarik tersendiri dengan kebijakan yang lebih menarik untuk investor,” kata dia, selepas mengisi kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu, 4 Maret 2020.