TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai rencana pemerintah untuk meminta BPJS Kesehatan menanggung pembiayaan peserta yang terjangkit virus corona berpotensi menimbulkan defisit baru. Defisit BPJS Kesehatan diprediksi akan semakin lebar seandainya Kementerian Keuangan tidak segera mencairkan dana peserta penerima bantuan iuran atau PBI.
"Bisa meningkatkan utang BPJS ke RS dan denda 1 persen semakin membesar," ujar Timboel dalam pesan pendek kepada Tempo, Jumat, 20 Maret 2020.
Defisit BPJS Kesehatan hingga akhir 2019 tercatat mencapai Rp 13 triliun. Timboel menjelaskan, untuk mengantisipasi terjadinya masalah utang baru di kemudian hari, ia mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani segera membayarkan iuran PBI enam bulan di muka dengan nilai Rp 24 triliun.
Duit itu nantinya dapat digunakan untuk menambal sementara utang-utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit yang belum terbayar di masa lalu. Dengan pelunasan utang ini, pihak rumah sakit pun akan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan penuh kepada pasien corona. "Tentu kebijakan ini harus diikuti dengan komitmen pemerintah," ucapnya.
Meski demikian, Timboel sejatinya mendukung upaya pemerintah mengalihkan pembiayaan wabah corona ke program jaminan kesehatan nasional atau JKN. Menurut dia, langkah itu bisa menekan dualisme penjaminan pasien sehingga pasien tidak kebingungan.
Adapun Sri Mulyani sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah telah merancang draf peraturan presiden terkait jaminan kesehatan nasional yang ditanggung BPJS Kesehatan tersebut. Draf tersebut salah satunya akan memuat perkara pembiayaan bagi pasien yang positif virus corona di rumah sakit.
Kendati Kementerian Kesehatan sudah memiliki pos anggaran, Sri Mulyani mengatakan persoalan pembiayaan juga bergantung kepada jumlah kasus dan penanganannya. “Dalam hal ini BPJS diminta ikut meng-cover sehingga nanti akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan," ucapnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR