TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan angkat biacara soal hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk menghapus potensi kerugian negara telah dilakukan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan pihaknya telah melakukan sejumlah perbaikan seperti yang direkomendasikan KPK. Salah satunya tentang penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
"Rekomendasi KPK kami apresiasi, artinya ada upaya perbaikan. (Rekomendasi) mirip yang pernah BPJS Kesehatan lakukan, (misalnya) soal pengaturan katarak, bayi lahir sehat dari ibu sectio caesarea, dan fisioterapi," ujar Iqbal, Senin, 16 Maret 2020.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebutkan salah satu hasil peninjauan ulang bersama Kementerian Kesehatan terhadap 7.000 rumah sakit yang jadi mitra BPJS Kesehatan pada tahun 2018 lalu, ditemukan ada 898 di antaranya yang mengajukan klaim berbeda dengan kondisi di lapangan.
Dalam hitungannya, bila 898 rumah sakit ini mengajukan klaim sesuai dengan kenyataannya, maka BPJS Kesehatan bisa menghemat pengeluarannya hingga Rp 6,6 triliun. Penghematan itu diperoleh dari pengembalian kelebihan bayar atau over payment tersebut.
Lebih jauh Iqbal menyebutkan terkait rekomendasi tentang pengaturan coordination of benefit (CoB), BPJS Kesehatan dalam pekasanaannya terbuka dalam pelaksanaan kolaborasi dengan asuransi swasta.
Hal tersebut, kata Iqbal, sejalan dengan kebijakan JKN-KIS. "Buktinya ada asuransi komersial yang sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan," katanya.
Sementara tentang rekomendasi mengendalikan fraud, badan publik menilai PNPK harus dapat segera diselesaikan. Penerapan verifikasi berupa pemberlakuan e-KTP sebagai bagian memastikan keabsahan peserta yang mendapatkan pelayanan kesehatan juga telah dilakukan. "Selama ini kami melakukan verifikasi peserta sudah sesuai dengan Permenkes yang berlaku," ujar Iqbal.
Pernyataan Iqbal menanggapi hasil kajian KPK pada Jumat pekan lalu soal defisit keuangan yang terjadi di BPJS Kesehatan sejak mulai beroperasi pada 2014 lalu. Defisit disebutkan timbul karena moral hazard peserta, over payment kelas rumah sakit tidak sesuai, fraud di lapangan, mendorong implementasi CoB dan copayment, serta mendorong penetapan PNPK sebagai acuan standar pelayanan kepada peserta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah indikasi kecurangan atau fraud yang dilakukan rumah sakit atau faskes tingkat lanjutan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan BPJS Kesehatan. Kecurangan dilakukan dengan cara mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan, namun tak sesuai kenyataan.
BISNIS