TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti hasil kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang penyebab defisit anggaran di BPJS Kesehatan. Salah satu pemicu defisit lembaga itu adalah peserta yang menunggak iuran.
Ia menyatakan saat ini tunggakan iuran masih tinggi meskipun sudah ada sejumlah upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk menagih tunggakan, seperti melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama. "Saya kira strategi yang manjur dan mumpuni adalah melaksanakan sanksi berupa tidak mendapatkan pelayanan publik seperti sudah diatur PP Nomor 86/2013," ujar Timboel, Ahad, 15 Maret 2020.
Timboel menyebutkan, seharusnya kementerian dan lembaga terkait dapat menjalankan aturan sanksi tidak mendapatkan layanan publik kepada para penunggak iuran BPJS Kesehatan. Sanksi juga harus dijatuhkan kepada masyarakat yang belum mendaftar sebagai peserta.
Tidak hanya itu, sanksi serupa juga diharapkan berlaku dan diterapkan kepada perusahaan, yang tidak mendaftarkan tenaga kerjanya sebagai peserta. Kementerian dan lembaga yang dimaksud dalam PP Nomor 86/2013 ini sebutnya adalah kepolisian, pemerintah daerah, dan imigrasi.
Pada Jumat pekan lalu, KPK menyatakan sejumlah penyebab masalah keuangan yang membelit BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah moral hazard dari peserta yang menunggak iuran, setelah mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya badan jaminan sosial tersebut.
"Permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri (PBPU). Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran," seperti dikutip dari laporan Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dirilis oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 12 Maret 2020.
Selain masalah moral hazard itu, KPK menilai pembatasan manfaat yang ada cakupannya terlalu sempit. Akibatnya, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN dan memberikan akibat negatif.
Defisit BPJS Kesehatan juga disebabkan oleh pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit yang tidak sesuai. Hasil piloting menyebutkan 4 dari 6 rumah sakit tidak sesuai standard dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp 33 miliar per tahun.
Permasalahan lain pemicu defisit adalah adanya kelemahan sistem verifikasi BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, diagnosa kehamilan pada pasien laki-laki masih lolos verifikasi dan dibayarkan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sebelumnya memperkirakan bahwa defisit program JKN pada tahun 2019 mencapai Rp 16 triliun. Prediksi itu disampaikan Fachmi dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan Menteri Kesehatan, di Gedung DPR, pada pertengahan Desember 2019.
Fachmi menjelaskan terdapat potensi surplus segmen PBI yang akan dialokasikan untuk pembayaran klaim rumah sakit. Pembayaran klaim menjadi prioritas karena akan terdapat carry over defisit dari tahun ini ke 2020.
"Surplus (segmen PBI) akan digunakan terlebih dahulu untuk membayar klaim rumah sakit, klaim carry over, karena masih ada carry over ke tahun depan. Proyeksinya (defisit) itu Rp 16 triliun," ujar Fachmi.
BISNIS