TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi merespons majelis hakim Mahkamah Agung yang telah membatalkan Perpres No. 79/2019 terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan, untuk kategori kelas mandiri. Menurut dia, jika dilihat pada konteks kepentingan jangka pendek konsumen, putusan itu menggembirakan.
Namun, kata dia, jika ditelusuri lebih mendalam ke depan putusan itu juga berisiko tinggi bagi perlindungan dan pemenuhan hak hak konsumen sebagai pasien BPJS Kesehatan. "Pasalnya? YLKI mengkhawatirkan pembatalan ini berdampak terhadap reduksi pelayanan pada pasien," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Rabu, 11 Maret 2020.
Dia mengatakan kalau yang direduksi hanya servis non medis masih lebih baik. Namun jika yang direduksi servis medisnya, ini yang membahayakan pasien sebab bisa berdampak terhadap keamanan pasien. Misalnya, jenis obat yang diganti atau dikurangi.
Agar hal ini tak terjadi, YLKI menyarankan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera mengeluarkan Perpres baru, untuk menggantikan Perpres No. 79/2019 yang dibatalkan oleh MA. Hal itu dia nilai penting untuk menjamin kepastian hukum.
"Sebab pernyataan managemen BPJS Kesehatan akan tetap menggunakan Perpres lama, jika pemerintah belum mengubah/mengeluarkan Perpres baru. Dengan kata lain, kenaikan tarif tetap akan diberlakukan oleh BPJS Kesehatan," ujarnya.
Tulus mendesak Kementerian Sosial untuk segera melakukan cleansing data untuk peserta PBI. Sebab sampai detik ini cleansing data dimaksud belum dilakukan, sehingga potensi penerima PBI yang salah sasaran masih sangat besar.
Hasil cleansing data bisa digunakan sebagai acuan untuk memasukkan peserta mandiri menjadi peserta PBI. Sebab, kata dia, faktanya peserta kelas mandiri mayoritas atau 70 persen adalah peserta kelas 3. Artinya, menurut dia, dari sisi sosial ekonomi adalah kelompok rentan, dan pantas menjadi anggota PBI juga.
YLKI juga meminta managemen BPJS Kesehatan untuk mengefektifkan tagihan bagi peserta kelas mandiri yang masih menunggak. Sebab tunggakan mereka sangat signifikan, sekitar 54 persen.
"Selebihnya, sebaiknya agar tidak menimbulkan sengkarut berkepanjangan dan berdampak terhadap pelayanan, pemerintah harus secara cepat mengatasi masalah ini," kata dia.