TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Nasdem yang juga Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2014-2019, Irma Suryani Chaniago, meminta pemerintah untuk menjalankan sejumlah langkah lebih serius untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Hal ini sangat penting dilakukan terlebih baru-baru ini terbit putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Irma DPR pun mendorong pemerintah agar dapat memaksimalkan upaya promotif preventif. Upaya tersebut dinilai dapat menjamin kesehatan keluarga sehingga anggaran pengobatan dapat ditekan.
Selain itu, kata Irma, peran Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) harus lebih dioptimalkan dalam upaya promotif preventif itu. Program kedua badan pun harus disinergikan dengan program lain dari pemerintah, seperti dari Kementerian Kesehatan.
Tak hanya upaya promotif preventif, menurut Irma, kapitasi untuk rumah sakit dan puskesmas pun harus berdasarkan pelayanan, bukan berdasarkan kuota. "Pemerintah harus memaksimalkan kepesertaan BPJS Kesehatan, mengontrol klaim rumah sakit, dan memperbaiki sistem teknologi informasi agar tidak terjadi fraud," ujar Irma, Senin, 9 Maret 2020.
Pernyataan Irma menanggapi putusan judicial review Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi, masing-masing sebagai anggota. MA menyatakan bahwa Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan.
MA dalam putusannya menilai Perpres tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan sejumlah Undang-undang. "(Pasal 34 ayat 1 dan 2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Senin, 9 Maret 2020.
Lewat putusan ini, MA menganulir iuran BPJS Kesehatan yang sudah diterapkan sejak 1 Januari 2020 melalui Perpres tersebut. Daftar iuran yang dianulir yaitu Rp 42 ribu untuk peserta Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II, dan Rp 160 ribu untuk Kelas IV.
Sehingga, iuran yang berlaku kembali merujuk pada aturan sebelumnya yaitu Perpres 82 Tahun 2018. Rincian iuran lama tersebut yaitu Rp 25.500 untuk Kelas III, Rp 51 ribu untuk Kelas II, dan Rp 80 ribu untuk Kelas I.
Adapun, gugatan tersebut awalnya dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah pada akhir 2019. Mereka keberatan dengan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen.
Lebih jauh Irma juga mengingatkan agar BPJS Kesehatan tetap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat meski iuran yang diusulkan batal naik. "Saya berharap dengan keputusan ini pelayanan rumah sakit tetap berkualitas. Pemerintah perlu menyusun jalan keluar agar tidak defisit atau dapat mengurangi defisit setelah pembatalan kenaikan iuran berlaku," ujanya,
Dia menyarankan agar ke depannya, pemerintah tetap mengacu kepada regulasi yang berlaku dalam menetapkan besaran iuran. Selain itu, Irma pun menyarankan agar pemerintah mewajibkan peserta mandiri yang berpenghasilan di atas Rp 25 juta per bulan untuk mengambil kelas 1.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Rp 15,5 triliun. Dari jumlah itu, Sri Mulyani juga mengatakan masih banyak fasilitas kesehatan yang juga belum dibayar secara penuh oleh BPJS Kesehatan.
"Lebih dari 5.000 faskes yang belum dibayar penuh. Ini situasi yang dihadapi BPJS hingga kini," kata Sri Mulyani usai rapat gabungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat di ruang Pansus B, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.
Di menuturkan sebelumnya defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 32 triliun. Pada 2019, kata dia, pemerintah telah menyuntikkan dana sebesar Rp 13,5 triliun.
BISNIS | HENDARTYO HANGGI