TEMPO.CO, Jakarta - Country Director for Bank Pembangunan Asia (ADB) Indonesia, Winfrid Wicklein, memperkirakan penyebaran virus Corona (Covid-19) tidak akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Pasalnya, pemerintah Indonesia dinilai memiliki kemampuan manajemen fiskal yang sudah kuat. Selain itu, tersedia ruang pelonggaran kebijakan yang cukup bagi pemerintah Indonesia.
"Beberapa negara sudah tidak dapat melakukan pelonggaran lagi dimana suku bunganya mungkin sudah minus. Jadi Indonesia masih ada ruang dan ruang ini sudah dipakai oleh Bank Indonesia," kata Wicklein, Jumat, 6 Maret 2020.
Instrumen kebijakan moneter maupun fiskal yang sudah digunakan oleh pemerintah juga dinilai sudah tepat dalam mempertahankan tingkat konsumsi yang memiliki peran penting menjaga stabilitas ekonomi di saat krisis.
Sementara itu, ADB telah menyetujui anggaran sebesar US$ 2 juta atau sekitar Rp 28,5 miliar untuk membantu negara-negara Asia-Pasifik dalam melawan wabah ini. Sebelumnya pada awal Februari 2020, ADB menyediakan bantuan dengan nilai yang sama bagi penanganan di negara-negara seperti Kamboja, China, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Pada jangka panjang, angka ini bisa naik untuk mendukung persiapan penanganan pandemik dan membangun ketahanan. "Fasilitas yang kami siapkan umumnya berupa asistensi teknis dan pembangunan kapasitas penanganan di negara-negara yang tidak memiliki kapasitas yang cukup," kata Joseph Zveglich, Deputy Economist ADB.
Selain itu, ADB juga menyediakan pinjaman kepada sektor swasta di Wuhan, Cina sebesar US $ 18,6 juta atau sekitar Rp 265,4 miliar. Pinjaman ini terutama diperuntukkan meningkatkan suplai dan distribusi obat-obatan dan alat kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebutkan Covid-19 memiliki kompleksitas risiko lebih tinggi ketimbang saat krisis global 2008. Sebab, virus itu mampu menghentikan aktivitas manusia secara masif yang pada akhirnya dapat memukul sektor riil.
Pada 2008, kata Sri Mulyani, krisis global disebabkan oleh lembaga keuangan, utamanya perbankan dan pasar modal. Sentimen kedua sektor itu yang pada akhirnya memengaruhi stabilitas.
Sementara Covid-19 memiliki profil yang berbeda karena dapat menghentikan mobilitas masyarakat. "Masyarakat tiba-tiba menjadi setengah lumpuh, lah. Seperti sekolah ditutup, pabrik ditutup, orang kerja dari rumah. Itu kan tiba-tiba kotanya, aktivitasnya menjadi paralyze (lumpuh)," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 5 Maret 2020.
Menurunnya aktivitas masyarakat ini, menurut Sri Mulyani, akan menyebabkan produktivitas perusahaan ikut anjlok. Hal ini dapat berkembang menjadi pemutusan hubungan kerja sektor-sektor terdampak. "Mulai airlines, hotel, dan sekarang industri manufaktur karena disrupsi dari barang-barang supply chain."
Tak hanya itu, Sri Mulyani menyebutkan akibat meluasnya virus itu, risiko gagal bayar pun akan membayangi industri perbankan. Kredit bermasalah yang menumpuk akan membuat bank tidak dapat melakukan ekspansi pembiayaan.
Sejauh ini pemerintah telah menggelontorkan Rp 10,3 triliun guna menstimulus sektor riil untuk menghadapi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Anggaran itu digunakan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat kurang sejahtera, menstimulus sektor properti, hingga menjaga roda bisnis sektor pariwisata tetap berputar.
Sebelumnya, pada 2008 lalu, pemerintah menggelontorkan Rp 73,1 triliun untuk menghadapi krisis global. Sebagian besar anggaran stimulus ini atau sebesar Rp 56,3 triliun menyasar sektor pajak dan kepabeanan dan sisanya untuk belanja negara.
BISNIS