TEMPO.CO, Jakarta - Upaya perbankan untuk menggenjot pertumbuhan kredit di awal tahun ini kian menantang. Perluasan penyebaran infeksi virus Corona (COVID19) hingga ke Indonesia yang terkonfirmasi awal pekan ini, diproyeksi akan semakin menggerus permintaan kredit dunia usaha.
“Saat ini semua bisnis sudah terdampak Corona baik secara langsung maupun tidak langsung, karena pada dasarnya bisnis itu saling saling terkait,” ujar Presiden Direktur PT Bank Mayapada International Tbk, Hariyono Tjahjarijadi kepada Tempo, Selasa 3 Maret 2020.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter pun sebelumnya telah memitigasi pelemahan perekonomian domestik, dengan menerbitkan serangkaian paket kebijakan. Beberapa di antaranya ditujukan untuk tetap memacu kinerja intermediasi perbankan, di tengah merebaknya kasus Corona secara global.
Kebijakan yang dimaksud adalah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate ke level 4,75 persen, juga pelonggaran rasio Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing dan rupiah.
“Ini sudah baik, namun ini tidak cukup membuat dunia usaha kembali bergairah kalau hanya BI saja yang merelaksasi,” kata Hariyono. Menurut dia, dalam upaya mengatasi risiko dampak Corona dibutuhkan sinergi kebijakan bank sentral dengan regulator lainnya, termasuk kebijakan fiskal. “Likuiditas dan suku bunga bukan satu-satunya yang bisa meningkatkan permintaan kredit.”
Ke depan, perbankan akan terus mewaspadai seberapa besar pengaruh Corona terhadap penurunan kredit secara keseluruhan. “Kami memproyeksikan kredit di 2020 akan berada di kisaran 7-8 persen,” ujarnya. Proyeksi ini lebih rendah dari sebelumnya di kisaran 10-12 persen.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Royke Tumilaar mengatakan dampak pelonggaran kebijakan moneter, seperti penurunan rasio GWM rerata valuta asing menjadi 4 persen akan menambah likuiditas perbankan sekitar US$ 3,2 miliar. “Ini akan membantu perbankan untuk melakukan kegiatan operasional dan memenuhi kebutuhan valuta asing nasabah,” ucap Royke.
Sedangkan, penurunan GWM rerata rupiah menjadi 5 persen akan membantu likuiditas perbankan mengantisipasi kebutuhan Ramadan dan Idul Fitri, juga musim pembayaran dividen di triwulan II 2020.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Ryan Kiryanto berujar agar serangkaian pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral itu berjalan efektif, maka perlu segera diperkuat dengan kebijakan fiskal yang juga akomodatif atau countercyclical. “Bola kini ada di pelaku usaha, apakah mereka terpacu untuk ekspansi atau tidak di tengah perlambatan ekonomi global dan domestik,” kata dia.