Tempo.Co, Jakarta - Dua bulan sudah larangan ekspor ore atau bijih nikel berjalan sejak 1 Januari 2020. Hingga kini, komoditas tambang ini ternyata masih bermasalah. Persoalannya yaitu tidak ada kesesuaian harga antara para penambang nikel dan perusahaan smelter yang menyerap hasil bijih nikel.
“Harusnya saat smelter sudah berdiri di sini, kami semakin hidup. Tapi kenapa saat ada smelter di sini, kami semakin terpuruk, rugi,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi di Kantor Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Sebelumnya sejak September 2019, pemerintah resmi mengumumkan percepatan larangan ekspor ore nikel, dari jadwal semua 2022. Bersamaan dengan itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa ore nikel yang selama ini diekspor, akan diserap smelter dalam negeri dengan harga maksimal US$ 30 per metrik ton.
Saat itu, para penambang sempat menolak percepatan larangan ini. Pemerintah pun mengumpulkan para penambang dan perusahaan smelter. Salah satunya Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mengumpulkan keduanya pada 12 November 2019. Saat itu, Bahlil mengumumkan kedua pihak sepakat dengan larangan ini.
Tapi, masalah baru muncul ketika smelter hanya menerima bijih nikel dengan kadar tinggi 1,8 persen. Belum lagi, smelter membeli di bawah harga internasional. Sebagai perbandingan, harga bijih nikel Free on Board (FoB) di Filipina sekitar US$ 60 per metrik ton.. Namun di Indonesia, harganya kerap lebih murah dari US$ 30.
Masalah lain muncul ketika penambang menjual bijih nikel ke smelter. Surveyor yang dimiliki smelter, kata dia, bisa menilai kadar bijih nikel penambang memiliki kandungan rendah atau 1,7 persen ke bawah. Sehingga, bijih nikel itu ditolak mentah-mentah.
Meidy heran karena sebelum dilarang, para penambang bisa leluasa mengekspor bijih nikel kandungan rendah tersebut ke pembeli di luar negeri. Akibatnya, kini ada 3,8 juta bijih nikel 1,7 persen yang menganggur di dalam negeri. Tak bisa diekspor karena dilarang dan tak bisa diserap smelter karena memiliki kandungan rendah.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso menyebut dirinya memang telah berdiskusi beberapa kali dengan Meidy soal harga nikel ini. AP3I merupakan asosiasi yang salah satunya berisi para perusahaan smelter nikel.
Prihadi menyebut pihaknya tetap membuka peluang untuk lahirnya penyesuaian harga baru. Terlebih, kata dari, permintaan nikel di dunia internasional saat ini memang tengah mengalami penurunan. “Kami tadi pagi juga rapat kembali, kami sepakat untuk cari rumusan (harga) yang lebih adil,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri ESDM Irwandi Arif meminta para penambang nikel pun tidak sekedar berbisnis tambang, tapi berupaya melakukan hilirisasi sendiri atas produk mereka. Meski demikian, ESDM tetap bakal segera menghasilkan keputusan terkait polemik yang terus terjadi ini. “Sebentar lagi ada solusi, ESDM harus lindungi keduanya (penambang nikel dan perusahaan smelter),” kata dia.